Jumat, 20 Mei 2016

Antara Banyak Membaca dan Mulai Menulis, Mana yang Didahulukan?


Kegiatan saya yang suka menulis akhir-akhir ini, bukanlah sebuah ketergesaan dalam menggapai sesuatu sehingga masuk dalam sebuah kaidah yang berbunyi,”Barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mencapai sesuatu sebelum waktunya, ia diharamkan untuk mendapatkannya.” Akan tetapi ini adalah luapan fikiran yang bersinergi dengan kecepatan jari-jari dalam menyentuh papan keyboard. Keinginan menulis suatu hal yang patut untuk disyukuri. Kata-kata akan hilang dan lewat begitu saja. Berbeda dengan tulisan yang masih dapat dibaca walaupun sudah berlalu puluhan zaman. Tidakkah terbayangkan bagaimana kalau al-Qur’an tidak ditulis dahulunya, hanya dihafal yang hilang ketika pemiliknya wafat. Sungguh bijak apa yang dilakukan Khalifah Utsman untuk membukukan al-Qur’an kala itu. Hasilnya bisa dinikmati sampai saat ini.
Kembali lagi ke menulis. Ada sebagian orang yang tidak bisa mengungkapan sesuatu dengan gamblang secara verbal. Mungkin ia akan lebih dipahami apabila menggunakan bahasa isyarat alih-alih mengungkapkannya dengan kata-kata. Oleh karenanya ia butuh media lain. Media penampung segala gagasan, cerita, khayalan, segala sesuatu yang berkelebat dalam otak. Hasil dari olah rasa berbagai jenis kejadian. Media menulis sangat cocok untuk orang dengan karakter seperti ini. Tidak laik mengungkapkan sesuatu secara verbal.

Apa jadinya kalau media ini dikungkung? Tidak dikembangkan secara layak. Bukankah kita sudah hafal slogan,”Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”. Mungkin itu digunakan untuk menabung, tapi mungkin saja digunakan dalam menggambarkan gelora menulis ini. Bukit terbentuk dari tanah dan kerikil yang bertumpuk. Kalau kita ingin membuat sebuah bukit, tentu saja kita harus menumpuk sekian banyak tanah dan kerikil. Begitu pun menulis. Kalau ingin menjadi seorang penulis yang baik (ekspert, itu istilah saya) tentu harus menelurkan sekian puluh, ratusan, bahkan ribuan tulisan.
Memang bahan tulisan adalah bacaan. Tanpa bacaan tentu tidak akan ada tulisan. Sebagaimana digambakan oleh pepatah Arab,”Orang yang tidak memiliki apa-apa bagaimana akan memberi?”. Orang yang tidak pernah membaca bagaimana ia akan menulis? Apa yang akan keluar dari tinta yang dibulirkannya?. Itulah seabreg pertanyaan yang harus dijawab agar kita memiliki tulisan yang bermutu.
Ada yang mengatakan, sibukkan diri dengan membaca dahulu. Jangan sibukkan diri dengan menulis. Para ulama dahulu membaca sampai memahami secara mendalam baru menulis. Iya saya sangat setuju sekali. Tapi bukankah Baginda Rasul pernah mensabdakan,”Sampaikan dariku walau satu ayat”. Kita memang hanya memiliki beberapa ilmu, jadi mengapa tidak ilmu kita yang sedikit itu kita jadikan tulisan? Paling tidak akan berguna bagi orang-orang awam yang sama-sama baru belajar. Kalau pandangan kita menerawang kepada karya ulama, pantaslah mereka banyak membaca secara mendalam baru mulai menulis. Karena karya mereka adalah karya level tinggi, membahas sesuatu secara mendasar. Bukan untuk kalangan newbie (pemula).  
Apabila ada dua hal yang bisa digabungkan kenapa harus memilih salah satu? Antara membaca dan menulis bukanlah 2 hal yang berseberangan. Gabungkan saja antara membaca berbagai literatur dan menulis. Seorang penulis tentu seorang pembaca. Seharusnya tingkat tulisannya sesuai dengan tingkat bacaannya. Jadi ya perbanyak membaca dan perbanyak menulis. Karena keinginan untuk membangun bukit (menjadi penulis expert) dan mencerdaskan masyarakat, saya akan terus menulis.

Related Posts

0 komentar: