Esai ini pernah diajukan dalam acara Silatnas Halaqah Bem Pesantren Se-Indonesia yang dilaksanakan pada 10-13 November 2016, di Kampus STIU Al-Hikmah Bogor.
Menyemai
Persatuan Umat Islam di Indonesia
Oleh : Djati Purnomo Sidhi
Mengapa umat Islam di Indonesia yang jumlahnya begitu
banyak belum bisa bersatu sampai saat ini? Mengapa terus saja ada polemik yang
terjadi? Apa saja yang menghambat terjadinya persatuan di antara mereka? Begitu
banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya melihat fenomena yang
terjadi dalam tubuh umat Islam di Indonesia dewasa ini.
Teringat setiap awal bulan Ramadhan dalam beberapa decade terakhir. Perbedaan dalam penentuan tanggal masuknya Ramadhan dan Syawal antara pemerintah dengan ormas Islam terkadang berbeda. Sehingga didapati sesama umat Islam menjelekkan, menyalahkan, mengolok-olok karena perbedaan ini.
Sempat juga di tahun 2012 terjadi penyerangan dan
pengusiran terhadap warga Syiah di kota Sampang, Madura. Sungguh pemandangan yang tidak mencerminkan persatuan.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah masyarakat
yang majemuk. Berasal dari wilayah, suku, dan latar belakang yang berbeda-beda.
Sehingga bisa dibilang wajar kalau sering tidak se-iya sekata. Akan tetapi ruh
persatuan harus ada dalam diri setiap muslim di Indonesia. Karena dengan
persatuan lah umat Islam akan memperoleh kejayaannya.
Ummatan Wahidah
Oleh karena itu, sudah menjadi tugas utama bagi setiap
elemen umat islam memikirkan dan memulai langkah persatuan. Karena Allah Ta’ala
sudah menegaskan bahwa umat islam adalah ummatan wahidah. Dalam ayatNya Allah
berfirman;
“Sungguh, inilah umat kalian, umat yang satu, dan Aku Adalah Tuhanmu, maka
sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya : 92)
Untuk itulah, perlu dipikirkan suatu cara agar umat Islam
di Indonesia yang menurut hasil survei yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun
2010 berjumlah 207.176.162 atau 87,18% penduduk Indonesia ini, dapat bersatu
menjadi ummatan wahidah.
Menyatukan Umat Islam di Indonesia
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam pernah berpesan, “Telah aku tinggalkan padamu dua perkara. Kamu
tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya, (yaitu) Al-Qur’an dan
sunah rasulNya.” (HR Malik, al-Hakim, al-Baihaqi). Pesan yang tidak akan pernah
lekang dimakan zaman.
Mungkin bagi sebagian orang solusi kembali kepada
al-Qur’an maupun sunah rasul adalah solusi basi, tidak relevan dengan zaman
sekarang. Namun, perlu diingat bahwa umat Islam bersepakat menjadikan al-Qur’an
dan sunah menjadi pedoman utama mereka, tentu ini modal yang besar untuk
menjalin persatuan. Modal kesamaan dalam berpedoman dengan keduanya.
Al-Qur’an sudah memberikan solusi mengatasi polemik
perpecahan dalam tubuh umat Islam, dengan menyuruh untuk berpegang teguh dengan
tali Allah.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai...” (QS Ali Imran : 103)
Al-Izz bin Abdissalam dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
tali Allah adalah al-Qur’an, atau agama Islam, atau perjanjian dengan Allah,
atau ikhlas bertauhid, atau jama’ah kaum muslimin. Dinamakan sebagai tali,
karena menyelamatkan orang yang berpegangan dengannya, sebagaimana orang akan
jatuh ke dalam sumur akan selamat ketika berpegangan dengan tali.
Maka sudah sepantasnya kaum muslimin
di Indonesia kembali mengedepankan al-Qur’an dan sunah-sunah Rasulullah dalam
beramal, meninggalkan pendapat-pendapat yang menyelisihi keduanya. Seperti yang
dikatakan oleh Imam Malik bin Anas bahwa semua perkataan bisa diterima dan
ditolak kecuali pemilik kuburan sambil tangan beliau menunjuk kubur Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Cukupkah Dengan
al-Qur’an dan Sunah?
Saya yakin masih tersisa pertanyaan
ketika dikemukakan bahwa solusi persatuan adalah mengedepankan al-Qur’an dan
sunah. Bukankah setiap ormas yang ada Indonesia berpedoman dengan keduanya. Dan
banyak penafsiran terhadap al-Qur’an maupun sunah. Juga para ulama sejak zaman
dahulu sudah berbeda pendapat.
Jawabannya adalah berpegang teguh
pada al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman para sahabat radiyallahu ‘anhum dan
ulama-ulama ahlussunah setelahnya. Karena para sahabat adalah orang-orang yang
menyaksikan sendiri bagaimana al-Qur’an diturunkan dan mereka mengetahui
sendiri bagaimana pengaplikasiannya pada zaman nabi. Kemudian apabila
penafsiran dan pendapat-pendapat tersebut dibarengi dengan kaidah ijtihad ushul
fikih, maka jadilah solusi untuk persatuan umat.
Setelah itu hendaklah umat Islam di
Indonesia untuk menekan ego keakuannya sehingga bisa mengikuti pedoman yang
benar yaitu al-Qur’an dan sunah sesuai pemahaman para sahabat. Perasaan bahwa
kelompoknya paling benar sendiri haruslah dikikis. Masing-masing harus insyaf
dan tidak menerapkan standar ganda. Ormas yang tua tidak merasa seluruh
amalannya paling benar dan tidak boleh dikoreksi, sementara terus menerus
mengatakan pemahaman kelompok lain salah.
Pilih Pemimpin
Muslim yang Adil
Al-Qur’an juga menyuruh umat Islam
untuk menaati ulil amri, karena hal tersebut menunjukkan persatuan dengan satu
suara dalam ketaatan kepadan pemimpin. Dalam sebuah kaidah dikatakan hukmul
hakim yarfa’ul khilaf. Keputusan hakim (pemimpin) itu mengangkat
perselisihan. Dalam konteks ini maka ulil amri di Indonesia adalah seorang
presiden.
Sudah
sepantasnya umat Islam di Indonesia menyiapkan pemimpin muslim yang adil,
amanah, dan berpihak kepada umat Islam. Karena hal tersebut dapat mewujudkan
persatuan dalam tubuh umat.
Umat Islam di Indonesia adalah umat
yang besar, persentasinya hampir 87,18% dari total penduduknya. Namun jumlah
yang besar ini dibarengi juga dengan berbagai polemik dan konfllik internal.
Tak terhitung kasus yang muncul. Lantas bagaimana agar tercipta persatuan bagi
umat Islam di Indonesia? Jawabannya adalah dengan berpedoman kepada al-Qur’an
dan sunah dengan pemahaman para sahabat, ditambah dengan ijtihad ushul fikih
untuk menyesuaikan pada masa ini. Kemudian bagi setiap ormas untuk menekan ego
perasaan paling benar sendiri. Dan yang terakhir adalah dengan memilih pemimpin
muslim yang adil, amanah, dan berpihak pada umat Islam.
0 komentar: