Kamis, 17 November 2016

Menyemai Persatuan Umat Islam di Indonesia

Esai ini pernah diajukan dalam acara Silatnas Halaqah Bem Pesantren Se-Indonesia yang dilaksanakan pada 10-13 November 2016, di Kampus STIU Al-Hikmah Bogor.



Menyemai Persatuan Umat Islam di Indonesia
Oleh : Djati Purnomo Sidhi
Mengapa umat Islam di Indonesia yang jumlahnya begitu banyak belum bisa bersatu sampai saat ini? Mengapa terus saja ada polemik yang terjadi? Apa saja yang menghambat terjadinya persatuan di antara mereka? Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya melihat fenomena yang terjadi dalam tubuh umat Islam di Indonesia dewasa ini.
Teringat setiap awal bulan Ramadhan dalam beberapa decade terakhir. Perbedaan dalam penentuan tanggal masuknya Ramadhan dan Syawal antara pemerintah dengan ormas Islam terkadang berbeda. Sehingga didapati sesama umat Islam menjelekkan, menyalahkan, mengolok-olok karena perbedaan ini.
Sempat juga di tahun 2012 terjadi penyerangan dan pengusiran terhadap warga Syiah di kota Sampang, Madura. Sungguh pemandangan yang tidak mencerminkan persatuan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Berasal dari wilayah, suku, dan latar belakang yang berbeda-beda. Sehingga bisa dibilang wajar kalau sering tidak se-iya sekata. Akan tetapi ruh persatuan harus ada dalam diri setiap muslim di Indonesia. Karena dengan persatuan lah umat Islam akan memperoleh kejayaannya.
Ummatan Wahidah
Oleh karena itu, sudah menjadi tugas utama bagi setiap elemen umat islam memikirkan dan memulai langkah persatuan. Karena Allah Ta’ala sudah menegaskan bahwa umat islam adalah ummatan wahidah. Dalam ayatNya Allah berfirman;
“Sungguh, inilah umat kalian, umat yang satu, dan Aku Adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya : 92)
Untuk itulah, perlu dipikirkan suatu cara agar umat Islam di Indonesia yang menurut hasil survei yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2010 berjumlah 207.176.162 atau 87,18% penduduk Indonesia ini, dapat bersatu menjadi ummatan wahidah.
Menyatukan Umat Islam di Indonesia
            Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan, “Telah aku tinggalkan padamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya, (yaitu) Al-Qur’an dan sunah rasulNya.” (HR Malik, al-Hakim, al-Baihaqi). Pesan yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman.
Mungkin bagi sebagian orang solusi kembali kepada al-Qur’an maupun sunah rasul adalah solusi basi, tidak relevan dengan zaman sekarang. Namun, perlu diingat bahwa umat Islam bersepakat menjadikan al-Qur’an dan sunah menjadi pedoman utama mereka, tentu ini modal yang besar untuk menjalin persatuan. Modal kesamaan dalam berpedoman dengan keduanya.
Al-Qur’an sudah memberikan solusi mengatasi polemik perpecahan dalam tubuh umat Islam, dengan menyuruh untuk berpegang teguh dengan tali Allah.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai...” (QS Ali Imran : 103)
Al-Izz bin Abdissalam dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah al-Qur’an, atau agama Islam, atau perjanjian dengan Allah, atau ikhlas bertauhid, atau jama’ah kaum muslimin. Dinamakan sebagai tali, karena menyelamatkan orang yang berpegangan dengannya, sebagaimana orang akan jatuh ke dalam sumur akan selamat ketika berpegangan dengan tali.
            Maka sudah sepantasnya kaum muslimin di Indonesia kembali mengedepankan al-Qur’an dan sunah-sunah Rasulullah dalam beramal, meninggalkan pendapat-pendapat yang menyelisihi keduanya. Seperti yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas bahwa semua perkataan bisa diterima dan ditolak kecuali pemilik kuburan sambil tangan beliau menunjuk kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Cukupkah Dengan al-Qur’an dan Sunah?
            Saya yakin masih tersisa pertanyaan ketika dikemukakan bahwa solusi persatuan adalah mengedepankan al-Qur’an dan sunah. Bukankah setiap ormas yang ada Indonesia berpedoman dengan keduanya. Dan banyak penafsiran terhadap al-Qur’an maupun sunah. Juga para ulama sejak zaman dahulu sudah berbeda pendapat.
            Jawabannya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman para sahabat radiyallahu ‘anhum dan ulama-ulama ahlussunah setelahnya. Karena para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan sendiri bagaimana al-Qur’an diturunkan dan mereka mengetahui sendiri bagaimana pengaplikasiannya pada zaman nabi. Kemudian apabila penafsiran dan pendapat-pendapat tersebut dibarengi dengan kaidah ijtihad ushul fikih, maka jadilah solusi untuk persatuan umat.
            Setelah itu hendaklah umat Islam di Indonesia untuk menekan ego keakuannya sehingga bisa mengikuti pedoman yang benar yaitu al-Qur’an dan sunah sesuai pemahaman para sahabat. Perasaan bahwa kelompoknya paling benar sendiri haruslah dikikis. Masing-masing harus insyaf dan tidak menerapkan standar ganda. Ormas yang tua tidak merasa seluruh amalannya paling benar dan tidak boleh dikoreksi, sementara terus menerus mengatakan pemahaman kelompok lain salah.
Pilih Pemimpin Muslim yang Adil
            Al-Qur’an juga menyuruh umat Islam untuk menaati ulil amri, karena hal tersebut menunjukkan persatuan dengan satu suara dalam ketaatan kepadan pemimpin. Dalam sebuah kaidah dikatakan hukmul hakim yarfa’ul khilaf. Keputusan hakim (pemimpin) itu mengangkat perselisihan. Dalam konteks ini maka ulil amri di Indonesia adalah seorang presiden.
Sudah sepantasnya umat Islam di Indonesia menyiapkan pemimpin muslim yang adil, amanah, dan berpihak kepada umat Islam. Karena hal tersebut dapat mewujudkan persatuan dalam tubuh umat.
            Umat Islam di Indonesia adalah umat yang besar, persentasinya hampir 87,18% dari total penduduknya. Namun jumlah yang besar ini dibarengi juga dengan berbagai polemik dan konfllik internal. Tak terhitung kasus yang muncul. Lantas bagaimana agar tercipta persatuan bagi umat Islam di Indonesia? Jawabannya adalah dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman para sahabat, ditambah dengan ijtihad ushul fikih untuk menyesuaikan pada masa ini. Kemudian bagi setiap ormas untuk menekan ego perasaan paling benar sendiri. Dan yang terakhir adalah dengan memilih pemimpin muslim yang adil, amanah, dan berpihak pada umat Islam.

Related Posts

0 komentar: