Ilmu syar’i atau ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia, bagaikan mutiara yang terpendam di dasar lautan. Tak heran jika banyak yang memburunya. Beragam media sudah lengkap tersedia untuk mereguk nikmatnya ilmu agama. Mulai dari kaset, cd, internet, kitab, kajian rutin, dan lain sebagainya.
Kini
tren mencari ilmu syar’i sudah semakin tergeser, seorang cukup duduk santai
bertemankan kopi/teh sambil mendengarkan suara merdu ustadz-ustadz kenamaan.
Ataupun cukup dengan membaca buku sambil leyeh-leyeh (jw. santai-santai)
di atas dipan.
Cara-cara
tersebut di atas memang tidak terlarang, namun kenyataanya banyak orang yang
hanya mencukupkan dirinya dengan hal-hal tersebut. Tanpa ada semangat lagi dan
terkesan ogah-ogahan untuk mendatangi majelis ilmu di masjid-masjid.
Inilah
fenomena yang menimpa sebagian orang, di tengah maju pesatnya teknologi.
Teknologi yang ada seakan memanjakan dan menjadikan malas untuk mendatangi
majelis ilmu yang diadakan di kota tempat tinggalnya. Beralasan bahwa
ustadz-ustadz yang didengarkan di mp3 atau kaset lebih senior dan lebih mumpuni
ilmunya daripada ustadz yang biasa mengajar kajian di kotanya sendiri.
Mencari
dan memahami ilmu melalui penjelasan guru secara langsung adalah metode belajar
yang paling utama, dan itulah yang dipraktekan oleh para ulama terdahulu dari
kalangan salaf.
Marilah
kita dengar penuturan Ibnu Abbas rhadiyallahu ‘anhuma mengenai perjalannanya
mencari ilmu. Ibnu Abbas bercerita, “Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi
wasalam wafat, aku berkata kepada seorang lelaki dari kalangan Anshor, “Ayo
kita bertanya kepada para Sahabat Rasulullah, mumpung masih banyak yang hidup
diantara mereka”. Dia menjawab,”Kamu ini aneh wahai Ibnu Abbas, apa kamu kira
manusia akan membutuhkanmu, sedangka para sahabat masih ada!?” lelaki tersebut
enggan dan meninggalkan Ibnu Abbas mencari ilmu sendirian.
Lalu Ibnu
Abbas mulai bertanya tentang hadis kepada para Sahabat. Suatu waktu sampailah
kepadaku sebuah hadis dari seorang lelaki. Akupun mendatangi rumahnya, ternyata
dia sedang tidur siang. Sambil menunggunya aku menggelar selendangku untuk
tiduran didepan pintunya, tubuhku diterpa oleh angin gurun yang bercampur
pasir.
Tak lama
setelah itu, lelaki itu bangun dan keluar rumah. Dia menemukanku tiduran
didepan pintunya, lalu berkata “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu
mendatangiku, kenapa tidak menyuruh utusan saja agar aku yang datang kepadamu”.
Ibnu Abbas menjawab, “Aku lebih berhak untuk mendatangimu”. Kemudian Ibnu Abbas
bertanya tentang hadis yang sampai kepadanya dari lelaki itu. Setelah rentang
waktu yang lama Ibnu Abbas menjadi Ulama rujukan diantara manusia, dan lelaki
Anshor yang dulu diajaknya mencari ilmu
masih hidup dan berkata, “pemuda ini lebih cerdas daripada aku”. (Diriwayatkan
oleh Al-hakim, dan Al-Baihaqy dalam Al-Madkhol ila sunan, dan Al-khotib dalam
Al-Jami’ Li akhlaki rowy wa adaabis saami’, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’
bayanil ilmi wa fadhlihi)
Begitulah
Ibnu Abbas dalam mencari ilmu, dengan kedudukannya sebagai sepupu Rasulullah
mudah saja baginya untuk menyuruh orang datang kerumahnya menyampaikan hadis.
Tapi Ibnu Abbas mengetahui bahwa ilmu syar’i adalah ilmu yang sangat mulia.
Karena beliau merasa bahwa ilmu syar’i lebih pantas untuk didatangi.
0 komentar: