Rabu, 06 Juli 2016

Perbedaan Antara Jamak dan Qashar dalam Shalat

Allah Tabaraka wa Ta'ala mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Perintah untuk melakukannya diterima secara langsung oleh Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam ketika mi'raj ke sidratul muntaha tiga tahun sebelum hijrahnya ke Madinah. Mengingat pentingnya shalat, bahkan merupakan rukun Islam yang kedua, Rasulullah menekankan kepada Muadz bin Jabal tatkala mengutusnya ke Yaman agar mengajarkannya kepada penduduk yang didakwahi.
Diceritakan oleh Ibnu Abbas, ketika Rasulullah mengutus Muadz ke Yaman beliau mengatakan,"Wahai Muadz sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersyahadat, apabila mereka menurutimu maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam....."(HR Bukhari)
Selain mewajibkan shalat lima waktu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memberikan keringanan apabila hamba-hambaNya tidak bisa mengerjakannya secara sempurna. Keringanan tersebut adalah jamak dan qoshor shalat. Namun, kebanyakan kaum muslimin masih bingung tentang dua hukum rukhsah ini.
Banyak pertanyaan seputar keduanya. Apakah ketika jamak harus di qoshor, atau bolehkah jamak saja tanpa di qoshor, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Melalui tulisan ini akan kami jelaskan perbedaan antara keduanya, sehingga kaum muslimin dapat melaksanakan keringanan yang Allah berikan tersebut secara tepat.

Apa Itu Jamak dan Qoshor?

Menjamak shalat adalah melakukan shalat dhuhur bersama dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya  secara taqdim (dilakukan di waktu shalat pertama) atau ta'khir (diundur di waktu shalat kedua)[1].
Adapun qoshor shalat adalah menjadikan shalat yang empat rakaat menjadi dua raka'at ketika safar, baik dalam keadaan genting atau aman[2].

Perbedaan antara jamak dan qoshor

Sudah diketahui dari definisi sebelumnya shalat apa saja yang boleh dijamak, yaitu dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya. Jamak shalat boleh dilakukan dalam keadaan bermukim atau ketika sedang safar. Dasarnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma;
«جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.» وَفِي رِوَايَةٍ: «مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ» . رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjamak antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya, tanpa ada halangan berupa rasa takut ataupun hujan.” Dalam riwayat lain disebutkan,”Tanpa halangan takut ataupun safar.” (HR Muslim)
Diceritakan juga bahwa Rasulullah menjamak shalat karena hujan di rumahnya, padahal rumah beliau bersebelahan dengan masjid Nabawi.
Adapun menjamak shalat ketika safar, diceritakan oleh Muadz bin Jabal;
«خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ إذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ، صَلَّى الظَّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ سَارَ، وَإِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، عَجَّلَ الْعِشَاءَ، فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Kami berangkat bersama Rasulullah untuk perang Tabuk. Beliau apabila pergi sebelum waktu zawal, mengakhirkan salat dhuhur dan menjamaknya di waktu ashar. Namun apabila pergi setelah waktu zawal, shalat dhuhur dan ashar bersamaan, kemudian baru pergi. Jika beliau pergi sebelum maghrib, menghakhirkannya dan dijamak di waktu isya’. Namun apabila pergi setelah masuk waktu maghrib, menyegerakan shalat isya bersama shalat maghrib.” (HR Abu Dawud dan Tirmidziy, beliau berkata : hadits hasan)
Ibnu Qudamah rahimahullah merinci keadaan yang diperbolehkan untuk menjamak shalat dalam kitabnya al-Mughni[3] :
1.       Tidak boleh menjamak shalat kecuali pada safar yang menempuh jarak diperbolehkannya qoshor shalat.
2.       Boleh menjamak dikarenakan hujan, yaitu hujan yang membasahi badan. Bukan gerimis atau hujan rintik-rintik.
3.       Boleh menjamak shalat dikarenakan sakit yang menyulitkan untuk shalat pada waktunya.
Mengqoshor shalat adalah sedekah yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya. Ya’la bin Umayyah pernah bertanya kepada Umar perihal ayat (Tidak mengapa bagimu untuk mengqoshor shalat apabila kalian dalam keadaan takut...) bukankah manusia sudah dalam keadaan aman? Umar menjawab,”Aku terheran-heran sebagaimana kamu merasa heran. Lantas aku bertanya kepada Rasulullah dan beliau bersabda,”Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekahnya.” (HR Muslim)
Sedangkan hukum dalam permasalahan qoshor, Imam Nawawi asy-Syafi’i menyatakan bahwa diperbolehkan untuk mengqoshor shalat saat safar pada shalat dhuhur, ashar, dan isya. Dan tidak boleh qoshor pada shalat subuh dan maghrib, juga ketika dalam keadaan muqim. Ini merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama. Apabila tersebut empat raka’at maka qoshor dengan menjadikannya dua raka’at, baik dalam keadaan takut maupun tidak[4].
Sebagai penutup, dapat kita simpulkan bahwa shalat jamak bisa dilakukan pada saat mukim ataupun safar, akan tetapi qoshor hanya dapat dilakukan ketika safar. Boleh menjamak dan menqoshor shalat sekaligus di saat safar. Serta boleh menjamak shalat ketika mukim dikarenakan ada udzur seperti hujan lebat, sakit yang menyulitkan untuk mengerjakan shalat setiap waktunya, dan lain-lain. Juga ketika safar diperbolehkan hanya menqoshor shalat saja tanpa menjamak, dan inilah yang afdhal. 

[1] Al-Mausu'at al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 27/287
[2] Al-Mausu'at al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 27/273
[3] Al-Mughni 2/202-205
[4] Al-Majmu’ syarh al-Muhadzab 4/322