Allah Tabaraka wa Ta'ala mewajibkan kepada
hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat sebanyak lima kali dalam sehari
semalam. Perintah untuk melakukannya diterima secara langsung oleh Rasulullah
shallallahu'alaihiwasallam ketika mi'raj ke sidratul muntaha tiga tahun sebelum
hijrahnya ke Madinah. Mengingat pentingnya shalat, bahkan merupakan rukun Islam
yang kedua, Rasulullah menekankan kepada Muadz bin Jabal tatkala mengutusnya ke
Yaman agar mengajarkannya kepada penduduk yang didakwahi.
Diceritakan oleh
Ibnu Abbas, ketika Rasulullah mengutus Muadz ke Yaman beliau mengatakan,"Wahai
Muadz sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka
untuk bersyahadat, apabila mereka menurutimu maka beritahukan bahwa Allah
mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam....."(HR Bukhari)
Selain
mewajibkan shalat lima waktu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memberikan
keringanan apabila hamba-hambaNya tidak bisa mengerjakannya secara sempurna.
Keringanan tersebut adalah jamak dan qoshor shalat. Namun, kebanyakan kaum
muslimin masih bingung tentang dua hukum rukhsah ini.
Banyak
pertanyaan seputar keduanya. Apakah ketika jamak harus di qoshor, atau bolehkah
jamak saja tanpa di qoshor, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Melalui tulisan
ini akan kami jelaskan perbedaan antara keduanya, sehingga kaum muslimin dapat
melaksanakan keringanan yang Allah berikan tersebut secara tepat.
Apa Itu Jamak dan Qoshor?
Menjamak shalat adalah melakukan shalat
dhuhur bersama dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya secara taqdim (dilakukan di waktu shalat pertama)
atau ta'khir (diundur di waktu shalat kedua)[1].
Adapun qoshor shalat adalah menjadikan
shalat yang empat rakaat menjadi dua raka'at ketika safar, baik dalam keadaan
genting atau aman[2].
Perbedaan antara jamak dan qoshor
Sudah diketahui dari definisi sebelumnya
shalat apa saja yang boleh dijamak, yaitu dhuhur dengan ashar dan maghrib
dengan isya. Jamak shalat boleh dilakukan dalam keadaan bermukim atau ketika
sedang safar. Dasarnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
radiyallahu ‘anhuma;
«جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، مِنْ غَيْرِ
خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.» وَفِي رِوَايَةٍ: «مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ» .
رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
menjamak antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya, tanpa ada
halangan berupa rasa takut ataupun hujan.” Dalam riwayat lain disebutkan,”Tanpa
halangan takut ataupun safar.” (HR Muslim)
Diceritakan juga
bahwa Rasulullah menjamak shalat karena hujan di rumahnya, padahal rumah beliau
bersebelahan dengan masjid Nabawi.
Adapun menjamak shalat ketika safar,
diceritakan oleh Muadz bin Jabal;
«خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ إذَا
ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إلَى
الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ
الشَّمْسِ، صَلَّى الظَّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ سَارَ، وَإِذَا
ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ
الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، عَجَّلَ الْعِشَاءَ،
فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Kami
berangkat bersama Rasulullah untuk perang Tabuk. Beliau apabila pergi sebelum
waktu zawal, mengakhirkan salat dhuhur dan menjamaknya di waktu ashar. Namun
apabila pergi setelah waktu zawal, shalat dhuhur dan ashar bersamaan, kemudian
baru pergi. Jika beliau pergi sebelum maghrib, menghakhirkannya dan dijamak di
waktu isya’. Namun apabila pergi setelah masuk waktu maghrib, menyegerakan
shalat isya bersama shalat maghrib.” (HR Abu Dawud dan Tirmidziy, beliau berkata : hadits hasan)
Ibnu Qudamah rahimahullah merinci keadaan
yang diperbolehkan untuk menjamak shalat dalam kitabnya al-Mughni[3]
:
1.
Tidak boleh menjamak shalat kecuali pada safar
yang menempuh jarak diperbolehkannya qoshor shalat.
2.
Boleh menjamak dikarenakan hujan, yaitu hujan yang
membasahi badan. Bukan gerimis atau hujan rintik-rintik.
3.
Boleh menjamak shalat dikarenakan sakit yang
menyulitkan untuk shalat pada waktunya.
Mengqoshor
shalat adalah sedekah yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya. Ya’la bin
Umayyah pernah bertanya kepada Umar perihal ayat (Tidak mengapa bagimu untuk
mengqoshor shalat apabila kalian dalam keadaan takut...) bukankah manusia sudah
dalam keadaan aman? Umar menjawab,”Aku terheran-heran sebagaimana kamu merasa
heran. Lantas aku bertanya kepada Rasulullah dan beliau bersabda,”Itu adalah
sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekahnya.” (HR
Muslim)
Sedangkan hukum
dalam permasalahan qoshor, Imam Nawawi asy-Syafi’i menyatakan bahwa
diperbolehkan untuk mengqoshor shalat saat safar pada shalat dhuhur, ashar, dan
isya. Dan tidak boleh qoshor pada shalat subuh dan maghrib, juga ketika dalam
keadaan muqim. Ini merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama. Apabila tersebut
empat raka’at maka qoshor dengan menjadikannya dua raka’at, baik dalam keadaan
takut maupun tidak[4].
Sebagai penutup,
dapat kita simpulkan bahwa shalat jamak bisa dilakukan pada saat mukim ataupun
safar, akan tetapi qoshor hanya dapat dilakukan ketika safar. Boleh menjamak
dan menqoshor shalat sekaligus di saat safar. Serta boleh menjamak shalat
ketika mukim dikarenakan ada udzur seperti hujan lebat, sakit yang menyulitkan
untuk mengerjakan shalat setiap waktunya, dan lain-lain. Juga ketika safar
diperbolehkan hanya menqoshor shalat saja tanpa menjamak, dan inilah yang
afdhal.