Kamis, 28 Juli 2016

Kepemimpinan Dalam Islam

Dewasa ini umat Islam dihadapkan dngan kenyataan yang cukup menyedihkan, yaitu lemahnya negara-negara Islam di hadapan negara-negara non muslim. Negara-negara muslim di berbagai belahan dunia ditekan dari segala sisi. Dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan bidang-bidang yang lain banyak dipengaruhi oleh kepentingan asing.
Apabila kita perhatikan, hal ini tidak lepas dari lemahnya pemimpin menghadapi berbagai gaya penetrasi asing yang ingin menguasai negara. Pemimpin yang tidak memiliki kepemimpinan yang kuat, kapasitas yang memadai, lemah, tidak memiliki strategi dan manajemen yang baik, akan dengan mudah disetir oleh orang lain.
Kepemimpinan Dalam Islam
Islam agama yang sempurna, semua aspek kehidupan diperhatikan dan diatur dengan sedemikian rupa untuk kemaslahatan pemeluknya. Termasuk masalah kepemimpinan. Salah seorang sahabat nabi yang bernama Abu Dzar pernah mengatakan;
 “Rasulullah pergi meninggalkan kami dan tidaklah burung terbang di angkasa dengan kedua sayapnya kecuali di sisi kami ada ilmunya.” (HR Ibnu Hibban)
Bersandar pada perkataan sahabat di atas, tentu saja para ulama dari zaman dahulu telah membahas mengenai kepemimpinan dalam pandangan Islam, dan memberikan porsi yang besar akan hal itu. Hal ini terbukti dengan banyaknya karangan yang bertemakan politik dan kepemimpinan. Sebut saja kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah karya Imam al-Mawardi asy-Syafi’i, as-Siyasah karya al-Farabiy, Ibnu Sina, dan kitab as-Siyasah asy-Syar’iyah tulisan Ibnu Taimiyah. 
Membicarakan kepemimpinan dalam Islam, berarti membiarakan suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan oleh siapa saja yang diangkat menjadi pemimpin. Karena setiap muslim pada dasarnya adalah pemimpin. Mulai dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat tertinggi pada bangsa, negara dan dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin. Dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Seorang kepala negara adalah pemimpin yang akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya, dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya, dan akan ditanya akan kepemimpinannya. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan akan ditanya. Ingatlah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan ditanya tentang orang-orang yang kalian pimpin.” (HR Muslim)
Pemimpin dalam Islam
Kepemimpinan dalam Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu kepemimpinan tertinggi (Imamatul ‘Udzma) dan yang berada di bawahnya. Pemimpin tertinggi adalah seorang khalifah. Dimulai dari wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, estafet kepemimpinan terus dilanjutkan oleh para Khulafa’ur Rasyidin, kemudian raja-raja dari Dinasti Bani Umayyah, digantikan oleh raja-raja dari Dinasti Abassiyah. Sampai pada runtuhnya kekhalifahan Dinasti Utsmaniyah pada tahun 1924 M.
Pemimpin memiliki hak istimewa untuk ditaati oleh seluruh rakyatnya kecuali jika memerintahkan kepada perbuatan maksiat. Allah Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya;
 “O you who have believed, obey Allah and obey the Messenger and those in authority among you. And if you disagree over anything, refer it to Allah and the Messenger, if you should believe in Allah and the last Day. That is the best way and best in result.” (QS an-Nisa : 59)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
 "Wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam perkara yang disukai dan dibenci dan biarpun merugikan kepentinganmu." (HR Muslim)
Di bawah kedudukan pemimpin tertinggi ada banyak sekali pemimpin-pemimpin. Contohnya adalah pemimpin shalat, pemimpin daerah, pemimpin rombongan safar, pemimpin rumah tangga. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sudah lewat.
Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap muslim untuk mempelajari ilmu kepemimpinan. Agar menjadi pemimpin yang baik dan mampu mempertanggung-jawabkan di hadapan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
            Membicarakan kepemimpinan juga tidak bisa lepas dari sosok seorang pemimpin muslim yang ideal yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena beliaulah contoh dalam segala bidang. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan;
 “Sungguh ada pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab : 21)
            Kemampuan beliau dalam bidang kepemimpinan sudah tidak diragukan lagi dengan memenangkan berapa kali peperangan melawan orang-orang kafir. Dalam perang Badar yang saat itu pasukan kaum Muslimin hanya 313 orang, sedangkan lawan berjumlah 1000 pasukan mampu beliau taklukan bersama sahabat-sahabatnya. Dan terakhir ketika Fathu Makkah beliau mampu menguasainya tanpa ada perlawanan yang berarti.
Kriteria Pemimpin dalam Islam
            Hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menerangkan kepada kita bagaimana kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Mawardi asy-Syafi’i menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang khalifah;
1.      Adil dengan segala aspeknya
a)      Adil
Seorang pemimpin haruslah adil dalam segala hal. Baik itu dalam penegakan hukum, dan pemberian hak serta kewajiban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan;
"Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman 'azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka." (HR Muslim)
b)      Kuat
Pemimpin yang kuat akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Kuat fisik dan mental. Karena pemimpin akan menghadapi gejolak-gejolak di masyarakat yang membutuhkan fisik, stamina dan pikiran yang kuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabatnya untuk menjadi pemimpin karena ia lemah.
"Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar." (HR Muslim no. 3404)
c)      Jujur
Pemimpin yang tidak jujur hanya akan menyengsarakan yang dipimpinnya. Berbagai kasus korupsi akan terus meningkat tanpa bisa dibendung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan pemimpin yang tidak jujur dan berbuat curang;
"Tidaklah seorang pemimpin yang Allah serahi untuk memimpin rakyatnya, ketika meninggal dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah akan mengharamkan surga untuknya." (HR Muslim no. 3409)
2.      Ilmu yang dapat dipergunakan untuk berijtihad dalam perkara hukum dan masalah kontemporer.
3.      Sempurnanya indera seperti penghlihatan, pendengar, dan pengucap, agar dapat mengolah apa yang didapatkan secara langsung.
4.      Sempurnanya anggota badan yang menghalangi dari pergerakan yang membutuhkan tanggapan cepat.
5.      Pikiran yang cemerlang untuk mengurusi rakyatnya dan mengatur kemaslahatan mereka.
6.      Keberanian yang dapat dipergunakan untuk melindungi dari intervensi luar dan menyerang musuh.
7.      Nasab, yaitu berasal dari suku Quraisy, karena adanya dalil dan ijmak yang telah tetap.
Begitulah kepemimpinan dalam Islam, dibutuhkan seorang pemimpin yang memenuhi kriteria yang telah disebutkan agar negara-negara Islam memperoleh kejayaannya di era sekarang ini.

Rabu, 20 Juli 2016

Kanvas Yang Menghitam


Seandainya ada seorang pelukis mentorehkan satu titik hitam pada sebidang kanvas putih, setiap hari satu titik, semakin hari titik itu semakin bertambah. Pada mulanya hanya satu titik, lambat laun titik itu berubah menjadi kumpulan titik titik yang banyak. Setelah berlalu masa yang panjang, akhirnya titik tu merubah warna kanvas yang tadinya putih bersih, menjadi penuh hitam kelam.
Pelukis itu tak ubahnya adalah diri kita sendiri, yang memiliki sebidang kanvas dan sebilah kuas. Kanvas itu adalah hati, dan kuasnya adalah badan kita. Seperti yang diketahui bahwa hati manusia pada asalnya putih bersih. Apabila setiap hari kita menggunakan badan kita untuk berbuat dosa, sama saja kita menorehkan satu titik hitam. Hari demi hari titik itu bertambah lebar sampai akhirnya hati kita menghitam karena banyaknya dosa yang dilakukan.
Setiap perubahan pasti ada efek yang terjadi. Hati yang menghitam sama saja dengan hati yang sekarat bahkan hampir mati. Apabila hati sudah mati maka itu adalah organ yang tidak berguna, tidak berguna untuk merenungi kebesaran dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak berguna pula untuk meresapi nasehat yang disampaikan kepadanya, tidak berguna untuk memikirkan seruan dan ancaman dari Allah dan rasulNya shalallahu’alaihi wasallam.
Lalu bagaimana terapi pemulihan hati yang sekarat atau mati? Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memberikan resepnya sebagai berikut. Beliau bersabda;
إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء, فإذا هو نزع و استغفر و تاب سقل قلبه, و إن عاد زيد فيها حتي تعلو قلبه.
Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa, ditorehkan dihatinya sebuah titik hitam. Apabila kemudian dia berhenti dari perbuatan dosanya, memohon ampun dan bertaubat, hatinya menjadi bersih kembali. Akan tetapi kalau melakukan dosa lagi ditorehkan lagi sampai menutupi hatinya. “ (HR Tirmidzi, dinilai hasan oleh Tirmidzi)
            Apabila hati kita sudah dipenuhi noda hitam. Hilangkan dengan bertaubat dari seluruh maksiat yang kita lakukan. Duduk bersimpuh, pasrah memohon ampunan dari Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagi hamba-hambaNya. Semoga Allah ta’ala mengampuni kita semua. Amiin.

Jumat, 08 Juli 2016

Syawal Bulan Peningkatan Ibadah


Bulan Ramadhan telah berakhir dengan terlihatnya hilal bulan Syawal. Alunan gema takbir bersahut-sahutan, mengagungkan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Pekik kemenangan bersamaan dengan lantunan takbir menandakan telah tiba hari bergembira. Hari fitri yang ditunggu-tunggu.
Tak perlu berduka cita atas berlalunya bulan Ramadhan, apalagi menyiapkan karangan bunga. Bukan kepergian bulan Ramadhan yang perlu ditangisi, kalau sudah berusaha giat beribadah dan mengharap pahala. Sesalilah diri yang tidak bertambah ketaatan dan peningkatan dalam menjalankan ibadah.
Rangkailah bait-bait doa selama enam bulan kedepan. Ya Allah terimalah amalan-amalan kami selama Ramadhan.
Ya Allah ampunilah kami.
Ya Allah rahmatilah kami.
Sampai pada enam bulan, basahi lisan dengan lantunan doa enam bulan berikutnya. Ya Allah sampaikanlah kami kepada Ramadhan.

Kawah Candradimuka Ramadhan

Selama satu bulan atau kurang lebih 30 hari, umat muslim di seluruh dunia di gembleng dengan ibadah puasa di siang hari, dan shalat malam di malam harinya. Ditambah lagi dengan peningkatan ibadah yang besar-besaran di sepuluh hari terakhir, mengharapkan bertemu dengan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lebih baik dalam pahalanya, lebih baik dalam berkahnya.
Setelah serangkaian ibadah yang beraneka ragam, mulai dari puasa, shalat malam, membaca al-Qur’an, berdoa, berdzikir, sudah sepantasnya untuk menjadi pribadi yang baru ketika bulan Syawal tiba. Menjadi seorang hamba yang menyandang predikat al-Muttaqin, hamba Allah yang bertakwa. Karena memang itulah tujuan berpuasa dan menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.

Bulan Meningkatkan Ibadah

Tidak salah juga mengatakan bulan Syawal adalah bulan untuk meningkatkan ibadah. Baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. Karena hamba-hamba Allah telah menjalani training selama bulan Ramadhan.
Dan sepantasnya sudah terbentuk kebiasaan yang baru, yaitu kebiasaan rajin beribadah. Terbiasa menahan lapar seharian tapi tetap melakukan pekerjaan. Maka di bulan Syawal pun produktivitas harusnya meningkat, karena sudah tidak perlu menahan lapar dan dahaga ketika bekerja.
Saat bulan Ramadhan biasa membaca al-Qur’an dengan keadaan mulut kering karena menahan haus, maka di bulan Syawal ini kebiasaan membaca al-Qur’an harus tetap, bahkan ditingkatkan lagi. Karena sudah tidak ada halangan rasa haus yang menyiksa tenggorokan. Begitu pun dengan sholat malam dan amalan ibadah yang lainnya.

Masih Ada Amalan Lain

Setelah berpuasa penuh selama sebulan, masih ada amalan lain saat bulan Syawal. Yaitu puasa selama enam hari. Sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Ayub yang berbunyi;
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: "من صام رمضان ثم أتبعه ستًّا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh kemudian menggandengnya dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, seakan-akan seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan makna hadits ini seraya mengatakan,”Para ulama menafsirkan hal itu (puasa setahun penuh, red) dengan alasan karena kebaikan dilipatgandakan sebanyak sepuluh kali. Maka puasa Ramadhan selama satu bulan dikalikan sepuluh menjadi seakan-akan berpuasa selama sepuluh bulan, dan puasa enam hari dikalikan sepuluh menjadi seperti enam puluh hari atau dua bulan. Berdasarkan hal ini disunnahkan bagi umat muslim apabila sudah menyempurnakan puasa Ramadhan agar berpuasa enam hari bulan Syawal.
Penting untuk diketahui bahwa puasa Syawal tidak dilakukan sebelum menyelesaikan hutang puasa Ramadhan. Yakni ketika seseorang memiliki hutang puasa sebanyak sehari, kemudian berpuasa enam hari bulan Syawal, dia tidak mendapatkan pahala itu (puasa setahun penuh, red). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh), dan orang yang masih punya hutang sehari tidak dikatakan berpuasa penuh, akan tetapi berpuasa pada hari-hari Ramadhan saja. Orang yang punya hutang sehari berarti hanya berpuasa 29 hari, dan orang yang punya hutang dua hari hanya berpuasa 28 hari, tidak sebulan penuh. Dan Rasul mengatakan,”Baransiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh kemudian berpuasa 6 hari bulan Syawal seakan-akan berpuasa setahun penuh.” (Syarh Riyadhus Shalihin 5/3030-304)
Oleh karena itu, momen bulan Syawal harus dijadikan bulan peningkatan amalan karena sudah terlatih selama bulan Ramadhan, dan masih ada lagi amalan lain yang sunnah untuk dikerjakan. Yaitu puasa selama enam hari bulan Syawal.
”badaa

Rabu, 06 Juli 2016

Perbedaan Antara Jamak dan Qashar dalam Shalat

Allah Tabaraka wa Ta'ala mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Perintah untuk melakukannya diterima secara langsung oleh Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam ketika mi'raj ke sidratul muntaha tiga tahun sebelum hijrahnya ke Madinah. Mengingat pentingnya shalat, bahkan merupakan rukun Islam yang kedua, Rasulullah menekankan kepada Muadz bin Jabal tatkala mengutusnya ke Yaman agar mengajarkannya kepada penduduk yang didakwahi.
Diceritakan oleh Ibnu Abbas, ketika Rasulullah mengutus Muadz ke Yaman beliau mengatakan,"Wahai Muadz sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersyahadat, apabila mereka menurutimu maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam....."(HR Bukhari)
Selain mewajibkan shalat lima waktu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memberikan keringanan apabila hamba-hambaNya tidak bisa mengerjakannya secara sempurna. Keringanan tersebut adalah jamak dan qoshor shalat. Namun, kebanyakan kaum muslimin masih bingung tentang dua hukum rukhsah ini.
Banyak pertanyaan seputar keduanya. Apakah ketika jamak harus di qoshor, atau bolehkah jamak saja tanpa di qoshor, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Melalui tulisan ini akan kami jelaskan perbedaan antara keduanya, sehingga kaum muslimin dapat melaksanakan keringanan yang Allah berikan tersebut secara tepat.

Apa Itu Jamak dan Qoshor?

Menjamak shalat adalah melakukan shalat dhuhur bersama dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya  secara taqdim (dilakukan di waktu shalat pertama) atau ta'khir (diundur di waktu shalat kedua)[1].
Adapun qoshor shalat adalah menjadikan shalat yang empat rakaat menjadi dua raka'at ketika safar, baik dalam keadaan genting atau aman[2].

Perbedaan antara jamak dan qoshor

Sudah diketahui dari definisi sebelumnya shalat apa saja yang boleh dijamak, yaitu dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya. Jamak shalat boleh dilakukan dalam keadaan bermukim atau ketika sedang safar. Dasarnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma;
«جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.» وَفِي رِوَايَةٍ: «مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ» . رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjamak antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya, tanpa ada halangan berupa rasa takut ataupun hujan.” Dalam riwayat lain disebutkan,”Tanpa halangan takut ataupun safar.” (HR Muslim)
Diceritakan juga bahwa Rasulullah menjamak shalat karena hujan di rumahnya, padahal rumah beliau bersebelahan dengan masjid Nabawi.
Adapun menjamak shalat ketika safar, diceritakan oleh Muadz bin Jabal;
«خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ إذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ، صَلَّى الظَّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ سَارَ، وَإِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، عَجَّلَ الْعِشَاءَ، فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Kami berangkat bersama Rasulullah untuk perang Tabuk. Beliau apabila pergi sebelum waktu zawal, mengakhirkan salat dhuhur dan menjamaknya di waktu ashar. Namun apabila pergi setelah waktu zawal, shalat dhuhur dan ashar bersamaan, kemudian baru pergi. Jika beliau pergi sebelum maghrib, menghakhirkannya dan dijamak di waktu isya’. Namun apabila pergi setelah masuk waktu maghrib, menyegerakan shalat isya bersama shalat maghrib.” (HR Abu Dawud dan Tirmidziy, beliau berkata : hadits hasan)
Ibnu Qudamah rahimahullah merinci keadaan yang diperbolehkan untuk menjamak shalat dalam kitabnya al-Mughni[3] :
1.       Tidak boleh menjamak shalat kecuali pada safar yang menempuh jarak diperbolehkannya qoshor shalat.
2.       Boleh menjamak dikarenakan hujan, yaitu hujan yang membasahi badan. Bukan gerimis atau hujan rintik-rintik.
3.       Boleh menjamak shalat dikarenakan sakit yang menyulitkan untuk shalat pada waktunya.
Mengqoshor shalat adalah sedekah yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya. Ya’la bin Umayyah pernah bertanya kepada Umar perihal ayat (Tidak mengapa bagimu untuk mengqoshor shalat apabila kalian dalam keadaan takut...) bukankah manusia sudah dalam keadaan aman? Umar menjawab,”Aku terheran-heran sebagaimana kamu merasa heran. Lantas aku bertanya kepada Rasulullah dan beliau bersabda,”Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekahnya.” (HR Muslim)
Sedangkan hukum dalam permasalahan qoshor, Imam Nawawi asy-Syafi’i menyatakan bahwa diperbolehkan untuk mengqoshor shalat saat safar pada shalat dhuhur, ashar, dan isya. Dan tidak boleh qoshor pada shalat subuh dan maghrib, juga ketika dalam keadaan muqim. Ini merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama. Apabila tersebut empat raka’at maka qoshor dengan menjadikannya dua raka’at, baik dalam keadaan takut maupun tidak[4].
Sebagai penutup, dapat kita simpulkan bahwa shalat jamak bisa dilakukan pada saat mukim ataupun safar, akan tetapi qoshor hanya dapat dilakukan ketika safar. Boleh menjamak dan menqoshor shalat sekaligus di saat safar. Serta boleh menjamak shalat ketika mukim dikarenakan ada udzur seperti hujan lebat, sakit yang menyulitkan untuk mengerjakan shalat setiap waktunya, dan lain-lain. Juga ketika safar diperbolehkan hanya menqoshor shalat saja tanpa menjamak, dan inilah yang afdhal. 

[1] Al-Mausu'at al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 27/287
[2] Al-Mausu'at al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 27/273
[3] Al-Mughni 2/202-205
[4] Al-Majmu’ syarh al-Muhadzab 4/322

7 Kemungkaran di Hari Raya yang Harus Dihindari

Ketahuilah saudaraku sesama muslim –semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu- bahwa kebahagiaan yang ada pada hari raya, benar-benar membuat kebanyakan manusia lupa atau pura-pura lupa akan urusan agamanya, dan hukum-hukum keislamannya. Maka engkau melihat mereka terjatuh dalam maksiat, melakukan hal-hal mungkar, sedangkan mereka mengganggap bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya. Di antara kemungkaran tersebut adalah :
  1. Berhias dengan cara mencukur jenggot. Ini adalah perkara yang banyak dilakukan oleh manusia. Mencukur jenggot diharamkan dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala. Ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang memuat perintah untuk membiarkannya tumbuh. Baik perintah itu bergandengan dengan alasan tasyabuh dengan orang-orang musyrik, dan oleh karena itu kita menyelisihi mereka. Atau tidak bergandengan dengan alasan apapun. Hal itu adalah fitrah yang tidak boleh kita rubah.
  2. Bersalaman dengan wanita ajnabiyah (bukan mahram). Hal ini adalah kebiasaan yang sudah menyebar di masyarakat. Tidaklah selamat dari hal tersebut kecuali orang yang dirahmati Allah. Hukumnya adalah haram, berdasar sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,”Ditusuknya kepada salah seorang dari kalian dengan jarum dari besi, lebih baik dibandingkan menyentuh wanita yang tidak halal baginya (HR Thabraniy)
  3. Bertasyabuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam hal berpakaian dan mendengarkan musik, serta kemungkaran yang lain. Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,”Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”. HR Ahmad
  4. Bertabarruj (bersolek) bagi wanita, dan keluarnya mereka ke pasar dan tempat-tempat ramai yang lain. Hal ini diharamkan dalam syariat agama. Allah ta’ala berfirman;
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ ٣٣
“Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”. (QS al-Ahzab : 33)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,”Ada 2 penduduk neraka yang belum pernah aku melihat keduanya…..perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain condong kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk onta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium bau wanginya surga. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu”. HR Muslim
  1. Mengkhususkan ziarah kubur pada saat hari raya, membagikan permen dan makanan di kuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur pria dan wanita, meratapi mayit, dan kemungkaran-kemungkaran yang lain.
  2. Berlebih-lebihan dan boros dalam perkara yang tidak bermanfaat, serta tidak memberikan maslahat dan faidah. Allah ta’ala mengingatkan;
”Janganlah kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS al-An’am : 141).
  1. Banyak manusia yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid tanpa ada udzur syar’i. ada juga yang hanya melaksanakan shalat ‘id saja tanpa melaksanakan shalat-shalat yang lain. Demi Allah ini adalah salah satu bencana yang amat besar.

Diringkas dari Kitab Ahkamul ‘Idain pada Bab Munkaratul ‘Id, karya Syaikh Ali Hasan Al-Halabiy