Minggu, 04 September 2016
Selasa, 02 Agustus 2016
Bacaan Do’a Setelah Adzan Lafadz dan Terjemahnya
Berapakali
kita mendengar gema suara adzan dikumandangkan dalam hidup kita, mungkin
ratusan bahkan ribuan kali. Akan tetapi apakah kita pernah berhenti sejenak
untuk mendengarkannya dengan seksama panggilan Allah tersebut dan berdoa dengan
membaca doa setelah adzan? Hanya diri kita yang tahu dengan pasti jawabannya.
Mendengarkan adzan dan menjawabnya adalah sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Dilanjutkan dengan membaca doa setelah adzan. Beliau
mengatakan dalam salah satu sabdanya yang berbunyi;
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”Jika kalian mendengar suara muadzin, maka ucapkanlah
sebagaimana yang diucapkan muadzin (kecuali pada hayaa ‘alash shalat dan hayaa
‘alal falah, pent). Kemudian bershalawatlah untukku. Sesungguhnya orang yang
bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.
Mintalah kepada Allah agar memberiku wasilah, yaitu suatu kedudukan di surga
yang diperuntukkan hanya untuk satu hambaNya. Dan aku berharap akulah hamba
tersebut. Barangsiapa yang memintakan wasilah untukku wajib baginya syafa’at.”
(HR Muslim no. 384)
Dari hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan ada beberapa hal yang
disyariatkan ketika mendengar adzan :
1.
Menjawab sebagaimana yang diucapkan oleh Muadzin, kecuali
pada lafadz Hayya ‘alash shalah dan Hayya ‘alal falah. Dasarnya adalah hadits
yang berasal dari Umar bin Khattab;
ثم قال: حي على الصلاة، قال: لا حول ولا قوة إلا بالله، ثم قال: حي
على الفلاح، قال: لا حول ولا قوة إلا بالله
“Apabila mengatakan Hayyaa ‘alash shalah (marilah kita shalat) maka ucapkan
Laa Haula wa Laa Quwwata Illaa Billah (Tiada daya dan upaya kecuali dari
Allah), dan jika mengucapkan Hayyaa ‘alal Falah (Marilah menuju kemenangan)
jawablah dengan Laa Haula wa Laa Quwwata Illaa Billah (Tiada daya dan upaya
kecuali dari Allah).” (HR
Muslim no. 385)
2.
Kemudian membaca shalawat kepada nabi. Keutamaan
membaca shalawat setelah adzan sebagaimana disebutkan dalam hadits Allah akan
bershalawat untuknya, yaitu Allah akan memujinya sebanyak sepuluh kali.
3.
Membaca doa setelah adzan. Setelah selesai
bershalawat lantas dianjurkan untuk membaca bacaan doa setelah adzan berikut
ini :
اللهم رب
هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمدا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقاما
محمودا الذي وعدته، [إنك لا تخلف الميعاد]
ALLAHUMMAA ROBBA HADZIHID DA’WATIT TAMMAAH WASHOLAATIL QOO IMAH AATI
MUHAMMADANIL WASIILATA WAL FADHIILAH WAB’ATSHU MAQOOMAM MAHMUUDANILADZIY
WA’ADTAHU, INNAKA LAA TUKHLIFUL MII’AAD
Artinya :
Ya Allah Rabb pemilik panggilan yang sempurna ini, dan sholat telah
ditegakkan. Berikanlah kepada Nabi Muhammad Wasilah dan keutamaan. Berilah dia
kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak pernah
mengingkari janjiMu.
Makna Doa Setelah Adzan
Doa setelah adzan memiliki makna permintaan kepada Allah Tabaraka wa
Ta’ala, selaku pemilik seruan atau dakwah yang sempurna. Yang dimaksud dengan
seruan di sini adalah seruan kepada tauhid. Karena tauhid merupakan
kesempurnaan sedangkan syirik merupakan suatu kekurangan. Atau dakwah tauhid
yang sempurna artinya tidak ada perubahan dan penggantian. Dan seruan tauhid
tersebut kekal sampai hari kiamat nanti. Pendapat lain mengatakan karena seruan
tersebut yang berhak untuk memiliki sifat sempurna, adapun selain seruan tauhid
maka termasuk kekurangan.
Dan shalat telah ditegakkan maknanya senantiasa dilakukan. Adapun makna
wasilah adalah sebuah kedudukan di surga sebagaimana yang dijelaskan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat muslim di atas.
Makna fadhilah (keutamaan) adalah derajat tambahan dibandingkan seluruh makhluk
yang ada.
Permintaan kepada Allah agar membangkitkan nabi Muhammad nanti pada hari
kiamat dan memberikannya kedudukan yang terpuji.
“Yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari
janjiMu” maknanya dikatakan oleh Ath-Thibiy yaitu merujuk kepada firman Allah
Ta’ala;
“Mudah-mudahan
Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS al-Isra’ [17] : 79)
Ayat ini
dinilai sebagai janji dari Allah Ta’ala, karena kata “mudah-mudahan” bagi Allah
artinya adalah kepastian[1].
Yaitu bahwa Allah benar-benar akan mengangkat derajat nabi Muhammad dan
mendudukannya pada tempat yang terpuji.
Keutamaan Doa Setelah Adzan
Orang yang membaca doa setelah adzan dengan penuh keikhlasan dari hatinya
akan mendapatkan syafa’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pada hari
kiamat nanti. Untuk itu jangan tinggalkan amalan yang mudah ini, namun
pahalanya begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang diberi
syafa’at oleh baginda Nabi pada hari kiamat kelak. Amiin
Kamis, 28 Juli 2016
Kepemimpinan Dalam Islam
Dewasa ini umat Islam dihadapkan dngan kenyataan yang cukup menyedihkan, yaitu lemahnya negara-negara Islam
di hadapan negara-negara non muslim. Negara-negara muslim di berbagai belahan dunia ditekan dari segala sisi. Dalam bidang sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan dan bidang-bidang yang lain banyak dipengaruhi oleh
kepentingan asing.
Apabila kita
perhatikan, hal ini tidak lepas dari lemahnya pemimpin menghadapi berbagai gaya penetrasi asing yang ingin
menguasai negara. Pemimpin yang tidak memiliki kepemimpinan yang kuat,
kapasitas yang memadai, lemah, tidak memiliki strategi dan manajemen yang baik,
akan dengan mudah disetir oleh orang lain.
Kepemimpinan Dalam Islam
Islam agama
yang sempurna, semua aspek kehidupan diperhatikan dan diatur dengan sedemikian
rupa untuk kemaslahatan pemeluknya. Termasuk masalah kepemimpinan. Salah seorang
sahabat nabi yang bernama Abu Dzar pernah mengatakan;
“Rasulullah pergi meninggalkan kami dan
tidaklah burung terbang di angkasa dengan kedua sayapnya kecuali di sisi kami
ada ilmunya.” (HR Ibnu Hibban)
Bersandar pada perkataan sahabat di atas,
tentu saja para ulama dari zaman dahulu telah membahas mengenai kepemimpinan dalam pandangan Islam, dan
memberikan porsi yang besar akan hal itu. Hal ini terbukti dengan banyaknya
karangan yang bertemakan politik dan kepemimpinan. Sebut saja kitab al-Ahkam
as-Sulthaniyah karya Imam al-Mawardi asy-Syafi’i, as-Siyasah karya al-Farabiy,
Ibnu Sina, dan kitab as-Siyasah asy-Syar’iyah tulisan Ibnu Taimiyah.
Membicarakan
kepemimpinan
dalam Islam, berarti membiarakan suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan oleh siapa saja yang diangkat menjadi pemimpin. Karena
setiap muslim pada dasarnya adalah pemimpin. Mulai dari tingkat yang paling
rendah sampai tingkat tertinggi pada bangsa, negara dan dunia. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin. Dan kalian
akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Seorang kepala negara
adalah pemimpin yang akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang suami adalah
pemimpin di rumahnya, dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang istri
adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya, dan akan ditanya akan
kepemimpinannya. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan akan
ditanya. Ingatlah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan ditanya tentang
orang-orang yang kalian pimpin.”
(HR Muslim)
Pemimpin dalam Islam
Kepemimpinan
dalam Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu kepemimpinan tertinggi (Imamatul
‘Udzma) dan yang berada di bawahnya. Pemimpin tertinggi adalah seorang
khalifah. Dimulai
dari wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, estafet kepemimpinan
terus dilanjutkan oleh para Khulafa’ur Rasyidin, kemudian raja-raja dari
Dinasti Bani Umayyah, digantikan oleh raja-raja dari Dinasti Abassiyah. Sampai
pada runtuhnya kekhalifahan Dinasti Utsmaniyah pada tahun 1924 M.
Pemimpin memiliki hak istimewa untuk ditaati
oleh seluruh rakyatnya kecuali jika memerintahkan kepada perbuatan maksiat. Allah Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya;
“O you who have believed, obey Allah and obey the Messenger and
those in authority among you. And if you disagree over anything, refer it to
Allah and the Messenger, if you should believe in Allah and the last Day. That
is the best way and best in result.”
(QS an-Nisa : 59)
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
"Wajib
bagi kalian untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan susah maupun senang,
dalam perkara yang disukai dan dibenci dan biarpun merugikan
kepentinganmu." (HR Muslim)
Di
bawah kedudukan pemimpin tertinggi ada banyak sekali pemimpin-pemimpin.
Contohnya adalah pemimpin shalat, pemimpin daerah, pemimpin rombongan safar,
pemimpin rumah tangga. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sudah lewat.
Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap
muslim untuk mempelajari ilmu kepemimpinan. Agar
menjadi pemimpin yang baik dan mampu mempertanggung-jawabkan di hadapan Allah
Tabaraka wa Ta’ala.
Membicarakan kepemimpinan juga
tidak bisa lepas dari sosok seorang pemimpin muslim yang ideal yaitu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena
beliaulah contoh dalam segala bidang. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan;
“Sungguh ada pada diri Rasulullah contoh yang
baik bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak
menyebut Allah.” (QS al-Ahzab : 21)
Kemampuan beliau dalam bidang kepemimpinan sudah tidak
diragukan lagi dengan memenangkan berapa kali peperangan melawan orang-orang
kafir. Dalam perang Badar yang saat itu pasukan kaum Muslimin hanya 313 orang,
sedangkan lawan berjumlah 1000 pasukan mampu beliau taklukan bersama
sahabat-sahabatnya. Dan terakhir ketika Fathu Makkah beliau mampu
menguasainya tanpa ada perlawanan yang berarti.
Kriteria Pemimpin dalam Islam
Hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menerangkan kepada kita
bagaimana kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Mawardi asy-Syafi’i
menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang khalifah;
1. Adil
dengan segala aspeknya
a) Adil
Seorang pemimpin haruslah adil
dalam segala hal. Baik itu dalam penegakan hukum, dan pemberian hak serta
kewajiban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan;
"Orang-orang yang berlaku adil berada di
sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan
Ar Rahman 'azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-,
yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil
dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka." (HR Muslim)
b) Kuat
Pemimpin yang kuat akan mampu
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Kuat fisik dan mental.
Karena pemimpin akan menghadapi gejolak-gejolak di masyarakat yang membutuhkan
fisik, stamina dan pikiran yang kuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang sahabatnya untuk menjadi pemimpin karena ia lemah.
"Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan)
padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan
penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan
tugas dengan benar." (HR Muslim no. 3404)
c) Jujur
Pemimpin yang tidak jujur hanya
akan menyengsarakan yang dipimpinnya. Berbagai kasus korupsi akan terus
meningkat tanpa bisa dibendung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memperingatkan pemimpin yang tidak jujur dan berbuat curang;
"Tidaklah seorang pemimpin yang Allah
serahi untuk memimpin rakyatnya, ketika meninggal dalam keadaan menipu
rakyatnya, melainkan Allah akan mengharamkan surga untuknya." (HR Muslim no. 3409)
2. Ilmu
yang dapat dipergunakan untuk berijtihad dalam perkara hukum dan masalah
kontemporer.
3. Sempurnanya
indera seperti penghlihatan, pendengar, dan pengucap, agar
dapat mengolah apa yang didapatkan secara langsung.
4. Sempurnanya
anggota badan yang menghalangi dari pergerakan yang membutuhkan tanggapan cepat.
5. Pikiran
yang cemerlang untuk mengurusi rakyatnya dan mengatur kemaslahatan mereka.
6. Keberanian
yang dapat dipergunakan untuk melindungi dari intervensi luar dan menyerang
musuh.
7. Nasab,
yaitu berasal dari suku Quraisy, karena adanya dalil dan ijmak yang telah
tetap.
Begitulah kepemimpinan dalam Islam, dibutuhkan seorang
pemimpin yang memenuhi kriteria yang telah disebutkan agar negara-negara Islam
memperoleh kejayaannya di era sekarang ini.
Rabu, 20 Juli 2016
Kanvas Yang Menghitam
Seandainya ada seorang pelukis mentorehkan
satu titik hitam pada sebidang kanvas putih, setiap hari satu titik, semakin
hari titik itu semakin bertambah. Pada mulanya hanya satu titik, lambat laun
titik itu berubah menjadi kumpulan titik titik yang banyak. Setelah berlalu
masa yang panjang, akhirnya titik tu merubah warna kanvas yang tadinya putih
bersih, menjadi penuh hitam kelam.
Pelukis
itu tak ubahnya adalah diri kita sendiri, yang memiliki sebidang kanvas dan
sebilah kuas. Kanvas itu adalah hati, dan kuasnya adalah badan kita. Seperti
yang diketahui bahwa hati manusia pada asalnya putih bersih. Apabila setiap
hari kita menggunakan badan kita untuk berbuat dosa, sama saja kita menorehkan
satu titik hitam. Hari demi hari titik itu bertambah lebar sampai akhirnya hati
kita menghitam karena banyaknya dosa yang dilakukan.
Setiap
perubahan pasti ada efek yang terjadi. Hati yang menghitam sama saja dengan
hati yang sekarat bahkan hampir mati. Apabila hati sudah mati maka itu adalah
organ yang tidak berguna, tidak berguna untuk merenungi kebesaran dan kekuasaan
Allah subhanahu wa ta’ala, tidak berguna pula untuk meresapi nasehat yang
disampaikan kepadanya, tidak berguna untuk memikirkan seruan dan ancaman dari
Allah dan rasulNya shalallahu’alaihi wasallam.
Lalu
bagaimana terapi pemulihan hati yang sekarat atau mati? Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam memberikan resepnya sebagai berikut. Beliau
bersabda;
إن
العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء, فإذا هو نزع و استغفر و تاب سقل
قلبه, و إن عاد زيد فيها حتي تعلو قلبه.
“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa, ditorehkan
dihatinya sebuah titik hitam. Apabila kemudian dia berhenti dari perbuatan
dosanya, memohon ampun dan bertaubat, hatinya menjadi bersih kembali. Akan
tetapi kalau melakukan dosa lagi ditorehkan lagi sampai menutupi hatinya. “
(HR Tirmidzi, dinilai hasan oleh Tirmidzi)
Apabila hati kita sudah dipenuhi
noda hitam. Hilangkan dengan bertaubat dari seluruh maksiat yang kita lakukan.
Duduk bersimpuh, pasrah memohon ampunan dari Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang bagi hamba-hambaNya. Semoga Allah ta’ala mengampuni kita semua.
Amiin.
Jumat, 08 Juli 2016
Syawal Bulan Peningkatan Ibadah
Bulan
Ramadhan telah berakhir dengan terlihatnya hilal bulan Syawal. Alunan gema
takbir bersahut-sahutan, mengagungkan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Pekik
kemenangan bersamaan dengan lantunan takbir menandakan telah tiba hari
bergembira. Hari fitri yang ditunggu-tunggu.
Tak perlu
berduka cita atas berlalunya bulan Ramadhan, apalagi menyiapkan karangan bunga.
Bukan kepergian bulan Ramadhan yang perlu ditangisi, kalau sudah berusaha giat
beribadah dan mengharap pahala. Sesalilah diri yang tidak bertambah ketaatan
dan peningkatan dalam menjalankan ibadah.
Rangkailah
bait-bait doa selama enam bulan kedepan. Ya Allah terimalah amalan-amalan kami
selama Ramadhan.
Ya Allah
ampunilah kami.
Ya Allah
rahmatilah kami.
Sampai pada
enam bulan, basahi lisan dengan lantunan doa enam bulan berikutnya. Ya Allah
sampaikanlah kami kepada Ramadhan.
Kawah Candradimuka Ramadhan
Selama
satu bulan atau kurang lebih 30 hari, umat muslim di seluruh dunia di gembleng
dengan ibadah puasa di siang hari, dan shalat malam di malam harinya. Ditambah
lagi dengan peningkatan ibadah yang besar-besaran di sepuluh hari terakhir,
mengharapkan bertemu dengan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lebih
baik dalam pahalanya, lebih baik dalam berkahnya.
Setelah
serangkaian ibadah yang beraneka ragam, mulai dari puasa, shalat malam, membaca
al-Qur’an, berdoa, berdzikir, sudah sepantasnya untuk menjadi pribadi yang baru
ketika bulan Syawal tiba. Menjadi seorang hamba yang menyandang predikat
al-Muttaqin, hamba Allah yang bertakwa. Karena memang itulah tujuan berpuasa
dan menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
Bulan Meningkatkan Ibadah
Tidak
salah juga mengatakan bulan Syawal adalah bulan untuk meningkatkan ibadah. Baik
dalam segi kualitas maupun kuantitas. Karena hamba-hamba Allah telah menjalani
training selama bulan Ramadhan.
Dan
sepantasnya sudah terbentuk kebiasaan yang baru, yaitu kebiasaan rajin
beribadah. Terbiasa menahan lapar seharian tapi tetap melakukan pekerjaan. Maka
di bulan Syawal pun produktivitas harusnya meningkat, karena sudah tidak perlu
menahan lapar dan dahaga ketika bekerja.
Saat bulan
Ramadhan biasa membaca al-Qur’an dengan keadaan mulut kering karena menahan
haus, maka di bulan Syawal ini kebiasaan membaca al-Qur’an harus tetap, bahkan
ditingkatkan lagi. Karena sudah tidak ada halangan rasa haus yang menyiksa
tenggorokan. Begitu pun dengan sholat malam dan amalan ibadah yang lainnya.
Masih Ada Amalan Lain
Setelah
berpuasa penuh selama sebulan, masih ada amalan lain saat bulan Syawal. Yaitu
puasa selama enam hari. Sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Ayub yang berbunyi;
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: "من صام رمضان ثم أتبعه
ستًّا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan secara penuh kemudian menggandengnya dengan berpuasa
selama enam hari di bulan Syawal, seakan-akan seperti berpuasa selama setahun
penuh.” (HR Muslim)
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan makna hadits ini seraya mengatakan,”Para
ulama menafsirkan hal itu (puasa setahun penuh, red) dengan alasan karena
kebaikan dilipatgandakan sebanyak sepuluh kali. Maka puasa Ramadhan selama satu
bulan dikalikan sepuluh menjadi seakan-akan berpuasa selama sepuluh bulan, dan
puasa enam hari dikalikan sepuluh menjadi seperti enam puluh hari atau dua
bulan. Berdasarkan hal ini disunnahkan bagi umat muslim apabila sudah
menyempurnakan puasa Ramadhan agar berpuasa enam hari bulan Syawal.
Penting
untuk diketahui bahwa puasa Syawal tidak dilakukan sebelum menyelesaikan hutang
puasa Ramadhan. Yakni ketika seseorang memiliki hutang puasa sebanyak sehari,
kemudian berpuasa enam hari bulan Syawal, dia tidak mendapatkan pahala itu
(puasa setahun penuh, red). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh), dan orang yang
masih punya hutang sehari tidak dikatakan berpuasa penuh, akan tetapi berpuasa
pada hari-hari Ramadhan saja. Orang yang punya hutang sehari berarti hanya
berpuasa 29 hari, dan orang yang punya hutang dua hari hanya berpuasa 28 hari,
tidak sebulan penuh. Dan Rasul mengatakan,”Baransiapa yang berpuasa Ramadhan
secara penuh kemudian berpuasa 6 hari bulan Syawal seakan-akan berpuasa setahun
penuh.” (Syarh Riyadhus Shalihin 5/3030-304)
Oleh
karena itu, momen bulan Syawal harus dijadikan bulan peningkatan amalan karena
sudah terlatih selama bulan Ramadhan, dan masih ada lagi amalan lain yang
sunnah untuk dikerjakan. Yaitu puasa selama enam hari bulan Syawal.
”badaa
Rabu, 06 Juli 2016
Perbedaan Antara Jamak dan Qashar dalam Shalat
Allah Tabaraka wa Ta'ala mewajibkan kepada
hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat sebanyak lima kali dalam sehari
semalam. Perintah untuk melakukannya diterima secara langsung oleh Rasulullah
shallallahu'alaihiwasallam ketika mi'raj ke sidratul muntaha tiga tahun sebelum
hijrahnya ke Madinah. Mengingat pentingnya shalat, bahkan merupakan rukun Islam
yang kedua, Rasulullah menekankan kepada Muadz bin Jabal tatkala mengutusnya ke
Yaman agar mengajarkannya kepada penduduk yang didakwahi.
Diceritakan oleh
Ibnu Abbas, ketika Rasulullah mengutus Muadz ke Yaman beliau mengatakan,"Wahai
Muadz sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka
untuk bersyahadat, apabila mereka menurutimu maka beritahukan bahwa Allah
mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam....."(HR Bukhari)
Selain
mewajibkan shalat lima waktu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memberikan
keringanan apabila hamba-hambaNya tidak bisa mengerjakannya secara sempurna.
Keringanan tersebut adalah jamak dan qoshor shalat. Namun, kebanyakan kaum
muslimin masih bingung tentang dua hukum rukhsah ini.
Banyak
pertanyaan seputar keduanya. Apakah ketika jamak harus di qoshor, atau bolehkah
jamak saja tanpa di qoshor, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Melalui tulisan
ini akan kami jelaskan perbedaan antara keduanya, sehingga kaum muslimin dapat
melaksanakan keringanan yang Allah berikan tersebut secara tepat.
Apa Itu Jamak dan Qoshor?
Menjamak shalat adalah melakukan shalat
dhuhur bersama dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya secara taqdim (dilakukan di waktu shalat pertama)
atau ta'khir (diundur di waktu shalat kedua)[1].
Adapun qoshor shalat adalah menjadikan
shalat yang empat rakaat menjadi dua raka'at ketika safar, baik dalam keadaan
genting atau aman[2].
Perbedaan antara jamak dan qoshor
Sudah diketahui dari definisi sebelumnya
shalat apa saja yang boleh dijamak, yaitu dhuhur dengan ashar dan maghrib
dengan isya. Jamak shalat boleh dilakukan dalam keadaan bermukim atau ketika
sedang safar. Dasarnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
radiyallahu ‘anhuma;
«جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، مِنْ غَيْرِ
خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.» وَفِي رِوَايَةٍ: «مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ» .
رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
menjamak antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya, tanpa ada
halangan berupa rasa takut ataupun hujan.” Dalam riwayat lain disebutkan,”Tanpa
halangan takut ataupun safar.” (HR Muslim)
Diceritakan juga
bahwa Rasulullah menjamak shalat karena hujan di rumahnya, padahal rumah beliau
bersebelahan dengan masjid Nabawi.
Adapun menjamak shalat ketika safar,
diceritakan oleh Muadz bin Jabal;
«خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ إذَا
ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إلَى
الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ
الشَّمْسِ، صَلَّى الظَّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ سَارَ، وَإِذَا
ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ
الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، عَجَّلَ الْعِشَاءَ،
فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Kami
berangkat bersama Rasulullah untuk perang Tabuk. Beliau apabila pergi sebelum
waktu zawal, mengakhirkan salat dhuhur dan menjamaknya di waktu ashar. Namun
apabila pergi setelah waktu zawal, shalat dhuhur dan ashar bersamaan, kemudian
baru pergi. Jika beliau pergi sebelum maghrib, menghakhirkannya dan dijamak di
waktu isya’. Namun apabila pergi setelah masuk waktu maghrib, menyegerakan
shalat isya bersama shalat maghrib.” (HR Abu Dawud dan Tirmidziy, beliau berkata : hadits hasan)
Ibnu Qudamah rahimahullah merinci keadaan
yang diperbolehkan untuk menjamak shalat dalam kitabnya al-Mughni[3]
:
1.
Tidak boleh menjamak shalat kecuali pada safar
yang menempuh jarak diperbolehkannya qoshor shalat.
2.
Boleh menjamak dikarenakan hujan, yaitu hujan yang
membasahi badan. Bukan gerimis atau hujan rintik-rintik.
3.
Boleh menjamak shalat dikarenakan sakit yang
menyulitkan untuk shalat pada waktunya.
Mengqoshor
shalat adalah sedekah yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya. Ya’la bin
Umayyah pernah bertanya kepada Umar perihal ayat (Tidak mengapa bagimu untuk
mengqoshor shalat apabila kalian dalam keadaan takut...) bukankah manusia sudah
dalam keadaan aman? Umar menjawab,”Aku terheran-heran sebagaimana kamu merasa
heran. Lantas aku bertanya kepada Rasulullah dan beliau bersabda,”Itu adalah
sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekahnya.” (HR
Muslim)
Sedangkan hukum
dalam permasalahan qoshor, Imam Nawawi asy-Syafi’i menyatakan bahwa
diperbolehkan untuk mengqoshor shalat saat safar pada shalat dhuhur, ashar, dan
isya. Dan tidak boleh qoshor pada shalat subuh dan maghrib, juga ketika dalam
keadaan muqim. Ini merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama. Apabila tersebut
empat raka’at maka qoshor dengan menjadikannya dua raka’at, baik dalam keadaan
takut maupun tidak[4].
Sebagai penutup,
dapat kita simpulkan bahwa shalat jamak bisa dilakukan pada saat mukim ataupun
safar, akan tetapi qoshor hanya dapat dilakukan ketika safar. Boleh menjamak
dan menqoshor shalat sekaligus di saat safar. Serta boleh menjamak shalat
ketika mukim dikarenakan ada udzur seperti hujan lebat, sakit yang menyulitkan
untuk mengerjakan shalat setiap waktunya, dan lain-lain. Juga ketika safar
diperbolehkan hanya menqoshor shalat saja tanpa menjamak, dan inilah yang
afdhal.