Jumat, 08 Juli 2016

Syawal Bulan Peningkatan Ibadah


Bulan Ramadhan telah berakhir dengan terlihatnya hilal bulan Syawal. Alunan gema takbir bersahut-sahutan, mengagungkan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Pekik kemenangan bersamaan dengan lantunan takbir menandakan telah tiba hari bergembira. Hari fitri yang ditunggu-tunggu.
Tak perlu berduka cita atas berlalunya bulan Ramadhan, apalagi menyiapkan karangan bunga. Bukan kepergian bulan Ramadhan yang perlu ditangisi, kalau sudah berusaha giat beribadah dan mengharap pahala. Sesalilah diri yang tidak bertambah ketaatan dan peningkatan dalam menjalankan ibadah.
Rangkailah bait-bait doa selama enam bulan kedepan. Ya Allah terimalah amalan-amalan kami selama Ramadhan.
Ya Allah ampunilah kami.
Ya Allah rahmatilah kami.
Sampai pada enam bulan, basahi lisan dengan lantunan doa enam bulan berikutnya. Ya Allah sampaikanlah kami kepada Ramadhan.

Kawah Candradimuka Ramadhan

Selama satu bulan atau kurang lebih 30 hari, umat muslim di seluruh dunia di gembleng dengan ibadah puasa di siang hari, dan shalat malam di malam harinya. Ditambah lagi dengan peningkatan ibadah yang besar-besaran di sepuluh hari terakhir, mengharapkan bertemu dengan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lebih baik dalam pahalanya, lebih baik dalam berkahnya.
Setelah serangkaian ibadah yang beraneka ragam, mulai dari puasa, shalat malam, membaca al-Qur’an, berdoa, berdzikir, sudah sepantasnya untuk menjadi pribadi yang baru ketika bulan Syawal tiba. Menjadi seorang hamba yang menyandang predikat al-Muttaqin, hamba Allah yang bertakwa. Karena memang itulah tujuan berpuasa dan menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.

Bulan Meningkatkan Ibadah

Tidak salah juga mengatakan bulan Syawal adalah bulan untuk meningkatkan ibadah. Baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. Karena hamba-hamba Allah telah menjalani training selama bulan Ramadhan.
Dan sepantasnya sudah terbentuk kebiasaan yang baru, yaitu kebiasaan rajin beribadah. Terbiasa menahan lapar seharian tapi tetap melakukan pekerjaan. Maka di bulan Syawal pun produktivitas harusnya meningkat, karena sudah tidak perlu menahan lapar dan dahaga ketika bekerja.
Saat bulan Ramadhan biasa membaca al-Qur’an dengan keadaan mulut kering karena menahan haus, maka di bulan Syawal ini kebiasaan membaca al-Qur’an harus tetap, bahkan ditingkatkan lagi. Karena sudah tidak ada halangan rasa haus yang menyiksa tenggorokan. Begitu pun dengan sholat malam dan amalan ibadah yang lainnya.

Masih Ada Amalan Lain

Setelah berpuasa penuh selama sebulan, masih ada amalan lain saat bulan Syawal. Yaitu puasa selama enam hari. Sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Ayub yang berbunyi;
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: "من صام رمضان ثم أتبعه ستًّا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh kemudian menggandengnya dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, seakan-akan seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan makna hadits ini seraya mengatakan,”Para ulama menafsirkan hal itu (puasa setahun penuh, red) dengan alasan karena kebaikan dilipatgandakan sebanyak sepuluh kali. Maka puasa Ramadhan selama satu bulan dikalikan sepuluh menjadi seakan-akan berpuasa selama sepuluh bulan, dan puasa enam hari dikalikan sepuluh menjadi seperti enam puluh hari atau dua bulan. Berdasarkan hal ini disunnahkan bagi umat muslim apabila sudah menyempurnakan puasa Ramadhan agar berpuasa enam hari bulan Syawal.
Penting untuk diketahui bahwa puasa Syawal tidak dilakukan sebelum menyelesaikan hutang puasa Ramadhan. Yakni ketika seseorang memiliki hutang puasa sebanyak sehari, kemudian berpuasa enam hari bulan Syawal, dia tidak mendapatkan pahala itu (puasa setahun penuh, red). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh), dan orang yang masih punya hutang sehari tidak dikatakan berpuasa penuh, akan tetapi berpuasa pada hari-hari Ramadhan saja. Orang yang punya hutang sehari berarti hanya berpuasa 29 hari, dan orang yang punya hutang dua hari hanya berpuasa 28 hari, tidak sebulan penuh. Dan Rasul mengatakan,”Baransiapa yang berpuasa Ramadhan secara penuh kemudian berpuasa 6 hari bulan Syawal seakan-akan berpuasa setahun penuh.” (Syarh Riyadhus Shalihin 5/3030-304)
Oleh karena itu, momen bulan Syawal harus dijadikan bulan peningkatan amalan karena sudah terlatih selama bulan Ramadhan, dan masih ada lagi amalan lain yang sunnah untuk dikerjakan. Yaitu puasa selama enam hari bulan Syawal.
”badaa

Rabu, 06 Juli 2016

Perbedaan Antara Jamak dan Qashar dalam Shalat

Allah Tabaraka wa Ta'ala mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Perintah untuk melakukannya diterima secara langsung oleh Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam ketika mi'raj ke sidratul muntaha tiga tahun sebelum hijrahnya ke Madinah. Mengingat pentingnya shalat, bahkan merupakan rukun Islam yang kedua, Rasulullah menekankan kepada Muadz bin Jabal tatkala mengutusnya ke Yaman agar mengajarkannya kepada penduduk yang didakwahi.
Diceritakan oleh Ibnu Abbas, ketika Rasulullah mengutus Muadz ke Yaman beliau mengatakan,"Wahai Muadz sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersyahadat, apabila mereka menurutimu maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam....."(HR Bukhari)
Selain mewajibkan shalat lima waktu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memberikan keringanan apabila hamba-hambaNya tidak bisa mengerjakannya secara sempurna. Keringanan tersebut adalah jamak dan qoshor shalat. Namun, kebanyakan kaum muslimin masih bingung tentang dua hukum rukhsah ini.
Banyak pertanyaan seputar keduanya. Apakah ketika jamak harus di qoshor, atau bolehkah jamak saja tanpa di qoshor, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Melalui tulisan ini akan kami jelaskan perbedaan antara keduanya, sehingga kaum muslimin dapat melaksanakan keringanan yang Allah berikan tersebut secara tepat.

Apa Itu Jamak dan Qoshor?

Menjamak shalat adalah melakukan shalat dhuhur bersama dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya  secara taqdim (dilakukan di waktu shalat pertama) atau ta'khir (diundur di waktu shalat kedua)[1].
Adapun qoshor shalat adalah menjadikan shalat yang empat rakaat menjadi dua raka'at ketika safar, baik dalam keadaan genting atau aman[2].

Perbedaan antara jamak dan qoshor

Sudah diketahui dari definisi sebelumnya shalat apa saja yang boleh dijamak, yaitu dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya. Jamak shalat boleh dilakukan dalam keadaan bermukim atau ketika sedang safar. Dasarnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma;
«جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.» وَفِي رِوَايَةٍ: «مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ» . رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjamak antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya, tanpa ada halangan berupa rasa takut ataupun hujan.” Dalam riwayat lain disebutkan,”Tanpa halangan takut ataupun safar.” (HR Muslim)
Diceritakan juga bahwa Rasulullah menjamak shalat karena hujan di rumahnya, padahal rumah beliau bersebelahan dengan masjid Nabawi.
Adapun menjamak shalat ketika safar, diceritakan oleh Muadz bin Jabal;
«خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ إذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ، صَلَّى الظَّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ سَارَ، وَإِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، عَجَّلَ الْعِشَاءَ، فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Kami berangkat bersama Rasulullah untuk perang Tabuk. Beliau apabila pergi sebelum waktu zawal, mengakhirkan salat dhuhur dan menjamaknya di waktu ashar. Namun apabila pergi setelah waktu zawal, shalat dhuhur dan ashar bersamaan, kemudian baru pergi. Jika beliau pergi sebelum maghrib, menghakhirkannya dan dijamak di waktu isya’. Namun apabila pergi setelah masuk waktu maghrib, menyegerakan shalat isya bersama shalat maghrib.” (HR Abu Dawud dan Tirmidziy, beliau berkata : hadits hasan)
Ibnu Qudamah rahimahullah merinci keadaan yang diperbolehkan untuk menjamak shalat dalam kitabnya al-Mughni[3] :
1.       Tidak boleh menjamak shalat kecuali pada safar yang menempuh jarak diperbolehkannya qoshor shalat.
2.       Boleh menjamak dikarenakan hujan, yaitu hujan yang membasahi badan. Bukan gerimis atau hujan rintik-rintik.
3.       Boleh menjamak shalat dikarenakan sakit yang menyulitkan untuk shalat pada waktunya.
Mengqoshor shalat adalah sedekah yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya. Ya’la bin Umayyah pernah bertanya kepada Umar perihal ayat (Tidak mengapa bagimu untuk mengqoshor shalat apabila kalian dalam keadaan takut...) bukankah manusia sudah dalam keadaan aman? Umar menjawab,”Aku terheran-heran sebagaimana kamu merasa heran. Lantas aku bertanya kepada Rasulullah dan beliau bersabda,”Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekahnya.” (HR Muslim)
Sedangkan hukum dalam permasalahan qoshor, Imam Nawawi asy-Syafi’i menyatakan bahwa diperbolehkan untuk mengqoshor shalat saat safar pada shalat dhuhur, ashar, dan isya. Dan tidak boleh qoshor pada shalat subuh dan maghrib, juga ketika dalam keadaan muqim. Ini merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama. Apabila tersebut empat raka’at maka qoshor dengan menjadikannya dua raka’at, baik dalam keadaan takut maupun tidak[4].
Sebagai penutup, dapat kita simpulkan bahwa shalat jamak bisa dilakukan pada saat mukim ataupun safar, akan tetapi qoshor hanya dapat dilakukan ketika safar. Boleh menjamak dan menqoshor shalat sekaligus di saat safar. Serta boleh menjamak shalat ketika mukim dikarenakan ada udzur seperti hujan lebat, sakit yang menyulitkan untuk mengerjakan shalat setiap waktunya, dan lain-lain. Juga ketika safar diperbolehkan hanya menqoshor shalat saja tanpa menjamak, dan inilah yang afdhal. 

[1] Al-Mausu'at al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 27/287
[2] Al-Mausu'at al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 27/273
[3] Al-Mughni 2/202-205
[4] Al-Majmu’ syarh al-Muhadzab 4/322

7 Kemungkaran di Hari Raya yang Harus Dihindari

Ketahuilah saudaraku sesama muslim –semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu- bahwa kebahagiaan yang ada pada hari raya, benar-benar membuat kebanyakan manusia lupa atau pura-pura lupa akan urusan agamanya, dan hukum-hukum keislamannya. Maka engkau melihat mereka terjatuh dalam maksiat, melakukan hal-hal mungkar, sedangkan mereka mengganggap bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya. Di antara kemungkaran tersebut adalah :
  1. Berhias dengan cara mencukur jenggot. Ini adalah perkara yang banyak dilakukan oleh manusia. Mencukur jenggot diharamkan dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala. Ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang memuat perintah untuk membiarkannya tumbuh. Baik perintah itu bergandengan dengan alasan tasyabuh dengan orang-orang musyrik, dan oleh karena itu kita menyelisihi mereka. Atau tidak bergandengan dengan alasan apapun. Hal itu adalah fitrah yang tidak boleh kita rubah.
  2. Bersalaman dengan wanita ajnabiyah (bukan mahram). Hal ini adalah kebiasaan yang sudah menyebar di masyarakat. Tidaklah selamat dari hal tersebut kecuali orang yang dirahmati Allah. Hukumnya adalah haram, berdasar sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,”Ditusuknya kepada salah seorang dari kalian dengan jarum dari besi, lebih baik dibandingkan menyentuh wanita yang tidak halal baginya (HR Thabraniy)
  3. Bertasyabuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam hal berpakaian dan mendengarkan musik, serta kemungkaran yang lain. Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,”Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”. HR Ahmad
  4. Bertabarruj (bersolek) bagi wanita, dan keluarnya mereka ke pasar dan tempat-tempat ramai yang lain. Hal ini diharamkan dalam syariat agama. Allah ta’ala berfirman;
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ ٣٣
“Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”. (QS al-Ahzab : 33)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,”Ada 2 penduduk neraka yang belum pernah aku melihat keduanya…..perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain condong kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk onta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium bau wanginya surga. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu”. HR Muslim
  1. Mengkhususkan ziarah kubur pada saat hari raya, membagikan permen dan makanan di kuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur pria dan wanita, meratapi mayit, dan kemungkaran-kemungkaran yang lain.
  2. Berlebih-lebihan dan boros dalam perkara yang tidak bermanfaat, serta tidak memberikan maslahat dan faidah. Allah ta’ala mengingatkan;
”Janganlah kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS al-An’am : 141).
  1. Banyak manusia yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid tanpa ada udzur syar’i. ada juga yang hanya melaksanakan shalat ‘id saja tanpa melaksanakan shalat-shalat yang lain. Demi Allah ini adalah salah satu bencana yang amat besar.

Diringkas dari Kitab Ahkamul ‘Idain pada Bab Munkaratul ‘Id, karya Syaikh Ali Hasan Al-Halabiy

Senin, 04 Juli 2016

Kelebihan Mempelajari Fikih Melalui Hadits Hukum

Untuk mempelajari fikih, para ulama membagi cara mempelajarinya menjadi 2 metode :
1. Metode ulama fikih, yaitu dengan cara mempelajari matan-matan suatu madzhab fikih tertentu.
2. Metode ulama hadits, yaitu dengan cara mempelajari fikih melalui kitab-kitab hadits yang membahas tentang hukum-hukum.
            Setiap metode tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada kesempatan ini saya tidak menguraikan kelebihan maupun kekurangan metode pertama, namun saya akan menyoroti metode kedua.
            Ketika mempelajari fikih dengan metode kedua, seorang pelajar biasanya fokus menghafal dalil-dalil hadits saja. Padahal apabila dicermati, dalil-dalil fikih bukanlah terbatas pada hadits saja, akan tetapi masuk di dalamnya nash-nash al-Qur'an yang membicarakan hukum, qiyas, ijma', amalan penduduk Madinah, amalan para sahabat, mashalih mursalah, dan lain-lain.
            Seorang yang mempelajari hadits-hadits hukum saja, ia akan melewatkan untuk mempelajari cabang-cabang fikih lain yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab fikihnya. Sebagai contoh bahwa matan Zaadul Mustaqni' memiliki 2400 permasalahan yang dibahas. Permasalahan tersebut sangat memudahkan bagi seorang pelajar untuk menghafal dan memahaminya.
            Di antara kitab-kitab yang berisikan hadits-hadits hukum adalah sebagai berikut :
1.      Umdatul Ahkam min Kalamil Khairil Anam
Karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hambali (w. 600 H)
Kitab ini berisikan 419 hadits-hadits hukum yang diambil dari Shahih Bukhari & Muslim, sebagaimana dipersyaratkan oleh penulisnya sendiri.
2.      Muntaqa al-Akhbar
Karya Majdudin Abul Barakat Abdussalam bin Taimiyah al-Jadd al-Hambaliy (w. 652 H)
Beliau mengambil dari Shahih Bukhari & Muslim, Musnad Ahmad, dan 4 kitab sunan. Berisikan 5029 hadits-hadits hukum.
3.      Bulughul Maram min Adillatil Ahkam
Karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani asy-Syafi'i (w. 852 H)
Berisikan 1576 hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum, dan ditambah satu bab menerangkan tentang adab dan akhlak, yaitu Kitabul Jami'.
4.      al-Muharrar fil Hadits
Karya Ibnu Abdil Hadi (w. 744 H)

Walaupun demikian, mempelajari hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum juga memiliki faidah yang sangat besar, di antaranya :
1. Dapat merangsang kemampuan fikih seseorang, yaitu kemampuan dalam beristinbath (menghasilkan hukum) dari hadits-hadits yang ada.
2.      Mengetahui bagaimana para ulama menentukan hukum fikih
3.      Menurunkan tensi ta'ashub (fanatik) terhadap pendapat suatu ulama madzhab.
4.   Mendapatkan faidah-faidah lain dari hadits-hadits yang dipelajari berupa semakin memahami seluk beluk ilmu hadits, faidah akidah, akhlak, adab, siroh dan lain sebagainya. 

Sumber bacaan :
Ahaditsul Ahkam wa Asyharu Mu'alafatiha karya Muhammad Sulaiman al-Fara
Bainal Madzhabiyah wa al-Laamadzhabiyah, tulisan Dr. Walid Idris al-Minisiy

Gak Takut Jadi Jomblo


J O M B L O enam huruf yang ternyata membuat banyak kawula muda hari ini menjadi GALAU. Mengapa saya membahas tema ini? alasannya karena saya sendiri adalah jomblo, bahkan mungkin kamu juga JOMBLO, dan kita adalah jomblo di antara dua ratus lima puluh juta penduduk Indonesia.
JOMBLO adalah sebutan bagi orang yang tidak mempunyai ikatan hubungan dengan lawan jenis alias single atau gak punya pasangan hidup.

Oke. Menjadi jomblo itu nggak semenderita yang kamu kira. M E N G A P A? Karena coba kamu lihat keadaan teman-temanmu yang pacaran; duit mereka cepat habis buat jalan bareng pacarnya atau buat beli pulsa, hidup jadi nggak tenang gara-gara tiap menit si pacar menghubungi, lewat sms kah, telpon, atau chatting lewat whatssap, bbm, line, telegram, dan yang lain. bahkan na’udzubillah min dzalik ada yang dapet gelar MBA sebelum lulus sekolah (Married by Accident/menikah karena kecelakaan). Pokoknya banyak kerugian kalau kamu nekat untuk pacaran.

Dan Harusnya kamu bangga jadi seorang JOMBLO... Kenapa bisa begitu? karena jomblo itu mulia, dan punya banyak keuntungan :
1.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu juga jomblo sebelum menikah sama ibunda Khodijah radiyallahu ‘anha. Beliau nggak pernah menjalin hubungan dengan wanita yang bukan mahram sebelum menikah. Kalau kamu memutuskan untuk menjomblo berarti kamu meniru kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa nggak keren tuh?
2.       Jadi jomblo membuat kita banyak bersyukur. Karena dengan keadaan seperti ini, pintu-pintu zina dan maksiat menjadi tertutup.
3.       Jadi jomblo berarti kamu menjaga perasaan, untuk satu orang yang benar-benar halal untukmu nantinya, karena Allah sudah menjanjikan jodoh yang baik untuk orang yang baik juga. Dan Allah nggak akan mengingkari janjinya.
4.       Jomblo itu berarti kamu bakal punya banyak waktu luang dan itu bisa kamu gunakan untuk mengembangkan diri, menekuni hobi, dan meraih prestasi.
5.       Menjadi jomblo memberikan kamu kesempatan untuk bisa nabung buat modal usaha, yang nantinya  menghasilkan keuntungan yang besar. Enak kan masih muda sudah punya penghasilan sendiri.
So. Itulah kemuliaan jomblo yang pantas kamu pertahankan sampai tiba waktunya. Yaitu ketika kamu mengucapkan qobiltu di hadapan bapak penghulu. Now, Katakan kepada dirimu sendiri,”Saya jomblo dan saya bangga.”

Download Gratis Ebook Panduan Zakat Fitrah

[Ebook Panduan Zakat Fitrah]

Adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk berzakat fitrah sebagaimana haditsyang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berikut,

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda: “Zakat Fitrah itu diwajibkan untuk membersihkan orang yang tengah berpuasa dari dosa perbuatan/perkataan yang sia-sia dan keji, dan makanan untuk orang-orang miskin, barang siapa yang menunaikannya sebelum Shalat ied maka zakatnya sah dan diterima, namun apabila zakat itu dikeluarkan setelah Shalat ied maka itu dihitung sebagai shadaqah yang biasa." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Berikut kami persembahkan ebook yang berjudul "Zakat Fitrah" yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah dimana telah dibukukan oleh  IslamHouse.com yang berisikan tentang penjelasan seputar zakat fitrah. Berikut link ebook "Zakat Fitrah".
https://goo.gl/RNK09g

Panduan yang insya Allah bermanfaat dalam melaksanakan kewajiban zakat fitrah bagi Anda dan kaum muslimin yang lain.

Minggu, 03 Juli 2016

Doa Malam Lailatul Qadar

Malam lailatul qadar sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat-riwayat hadits jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Terutama pada malam-malam yang ganjil. Sudah sepantasnya seorang muslim untuk memperbanyak ibadah yang sunnah seperti sholat malam, membaca al-Qur’an, berdzikir, serta berdoa meminta kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Redaksi Doa Malam Lailatul Qadar

Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk umatnya ketika menjumpai Lailatul Qadar adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ‘anha;

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu kalau aku mendapati lailatul qadar, doa apa yang harus kubaca?”
“Bacalah;
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني
ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun dan menyukai namaMu (al-‘Afwu), maka ampunilah kami[1].

Bimbingan nabi agar berdoa dengan redaksi seperti di atas menunjukan pentingnya isi doa di malam yang pernuh berkah tersebut.

Makna dan Hikmah Doa Malam Lailatul Qadar

Al-‘Afwu adalah salah satu nama Allah. Makna dari doa tersebut adalah adalah meminta kepada Allah al-Afwu agar diampuni dosa-dosanya dan tidak mengadzab hambaNya karena dosa-dosa yang telah diperbuat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Qurthubi,”al-Afwu adalah ampunan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada hambaNya. Bisa diberikan sebelum jatuhnya hukuman atau setelahnya, berbeda dengan ghufron. Adapun ghufron adalah ampunan yang diberikan tanpa diberikan hukuman sedikitpun.”[2]
Sedangkan makna dari Tuhibbul ‘afwa adalah bahwa Allah Ta’ala mencintai nama dan sifat-sifatNya, dan mencintai hamba-hambaNya yang beribadah dengan perantaraan nama dan sifat tersebut, serta beramal dengan konsekuensi yang ada dari nama dan sifat-sifatNya (al-‘Afwu).
                Adapun rahasia mengapa didahulukan penyebutan nama Allah sebelum isi doa, yaitu menyebutkan nama al-‘Afwu sebagai bentuk tawassul dengan namaNya sebelum memohon yang diinginkan[3].
                Ibnu Rajab menjelaskan hikmah mengapa pada malam laitul qadar disyariatkan doa meminta pengampunan dari Allah Ta’ala. Beliau mengatakan,”Hanya saja diperintahkan untuk meminta ampunan pada malam lailatul qadar –setelah beramal pada malam tersebut dan sepuluh hari terakhir- karena orang yang berilmu tahu bahwa kerja kerasnya melakukan berbagai amalan bukanlah apa-apa, masih banyak kekurangannya. Sehingga ia kembali untuk memohon ampunan, seperti halnya orang yang berdosa dan bersalah[4].”
                Jangan sia-siakan kesempatan untuk mendapatkan malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Karena kita tidak pernah tahu apakah masih sempat untuk bertemu dengan Ramadhan selanjutnya. Mintalah ampunan kepada Allah sesungguhNya Allah Maha Pengampun.



[1] (HR Tirmidzi, Kitab ad-Da’awaat, Bab Hadatsanaa Yusuf bin Isa, no. 3513, an-Nasa’i dalam al-Kubro no. 7712, Ibnu Majah no. 3850, musnad Ahmad 42/236 no. 25384, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidziy 3/170)
[2] Tafsir al-Qurthubiy 1/797
[3] www.kalemtayeb.com/index.php/kalem/safahat/item/3116
[4] Lathaiful Ma’arif hal. 206