Minggu, 26 Juni 2016

Hukum Ringkas Seputar I'tikaf


Makna I’tikaf

I’tikaf menurut para ulama adalah berdiam diri di masjid untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Inilah pengertian i’tikaf secara umum. Sehingga orang yang berdiam diri di tempat lain seperti di kamar, di wc, di kelas, atau dimanapun selain di masjid tidak dinyatakan sebagai i’tikaf dalam istilah syari’at. Sehingga i’tikaf harus dilaksanakan di masjid selaras dengan ayat di bawah ini;
“Dan kalian beri’tikaf (berdiam diri) di masjid.” (QS al-Baqarah : 187)
Begitu juga sesuai dengan praktek Nabi shallallahu’alaihi wasallam dimana beliau hanya beri’tikaf di masjid. Belum ada riwayat yang menyatakan beliau beri’tikaf di tempat lain.

I’tikaf Bagi Wanita

Para ulama berbeda pendapat mengenai i’tikaf bagi wanita, apakah harus di masjid seperti laki-laki ataukah boleh beri’tikaf di mushola rumahnya. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.       Pendapat pertama merupakan pilihan kebanyakan para ulama yaitu bahwa wanita tetap beri’tikaf di masjid sebagaimana laki-laki. Sehingga tidak sah i’tikaf wanita di mushola rumahnya.
2.       Pendapat kedua mengatakan bahwa sah i’tikaf wanita di mushola rumahnya, dan ini merupakan pendapat ulama hanafiyah.
Pendapat yang benar dari dua pendapat ulama di atas adalah pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa wanita beri’tikaf di masjid sebagaimana laki-laki, akan tetapi dengan dua syarat yang harus dipenuhi :
a.       Aman dari fitnah. Yang dimaksud dari fitnah adalah ia dapat menjaga diri dan terjaga kehormatannya, tidak menggoda lelaki dengan keberadannya di masjid.
b.      Mendapatkan izin dari suaminya atau wali yang berkuasa atasnya.

Rukun I’tikaf

Adapun rukun i’tikaf ada empat macam : 1. Orang yang beri’tikaf, 2. Niat, 3. Tempat beri’tikaf, 4. Berdiam diri di masjid. Sedangkan rincian mengenai empat rukun ini adalah sebagai berikut :
1.       Orang yang beri’tikaf
Yang diperbolehkan untuk beri’tikaf adalah laki-laki, perempuan, dan anak kecil yang sudah tamyiz yaitu mampu membedakan yang baik dan buruk. Namun lebih khusus lagi orang tersebut haruslah :
a.       Beragama Islam, maka tidak sah i’tikafnya orang kafir.
b.      Berakal, mengharuskan i’tikafnya orang gila atau orang yang mabuk, serta orang yang pingsan tidak sah. Karena pada dasarnya mereka tidak memiliki niat.
c.       Tamyiz, artinya sudah bisa membedakan dan paham. Maka tidak sah i’tikaf orang yang belum tamyiz.
d.      Bersih dari haidh dan nifas bagi perempuan.
e.      Suci dari hadats besar, karena orang yang junub terlarang untuk berdiam diri di masjid.
2.       Niat
I’tikaf tidak sah tanpa ada niat baik itu i’tikaf sunah ataupun i’tikaf wajib. Sebagaimana wajibnya untuk membedakan antara niat wajib dan niat sunah berdasarkan sabda nabi shallallahu’alaihiwasallam;
Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR Bukhari & Muslim)
3.       Tempat beri’tikaf
Tempat yang digunakan untuk beri’tikaf adalah masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah. Selain di masjid yang didirikan jama’ah shalat di dalamnya, maka tidak sah.
Para ulama bersepakat bahwa masjid yang paling utama digunakan untuk beri’tikaf adalah masjidil haram, kemudian masjid nabawi dan masjidil aqsha. Selanjutnya adalah masjid yang digunakan untuk shalat jum’at. Agar orang-orang yang beri’tikaf tidak perlu untuk keluar melaksanakan shalat jum’at.
4.       Berdiam diri di masjid
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa berdiam diri di masjid adalah rukun i’tikaf. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya waktu berdiam diri di masjid. Ada yang berpendapat satu jam, sehari semalam, hanya sehari, ada juga yang tidak menentukan batasan waktu akan tetapi selama itu dinamakan berdiam diri maka sudah terhitung i’tikaf. Namun yang lebih utama adalah tidak kurang dari sehari.

Pembatal-Pembatal I’tikaf

Ada beberapa hal yang dapat membatalkan i’tikaf seseorang, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.       Berhubungan badan (Jima’)
Orang yang berhubungan badan dengan istrinya ketika sedang i’tikaf maka i’tikafnya menjadi batal, baik hubungan di malam hari dan lebih-lebih lagi di siang hari. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala;
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri-istrimu, pent) sedangkan kalian sedang beri’tikaf di masjid.” (QS al-Baqarah : 187)
Adapun perbuatan-perbuatan yang mengajak kepada hubungan badan diperbolehkan selama tidak sampai keluar mani.
2.       Keluar dari masjid
Keluar dari masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak menyebabkan batalnya i’tikaf. Yang dimaksud dengan kebutuhan di sini adalah hal-hal yang harus dilakukan seperti kencing, buang air besar, karena keduanya tidak mungkin dilakukan di masjid. Namun masih ada perincian seputar keluar dari masjid seperti berikut :
a.       Keluar untuk makan dan minum
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang keluar dari masjid untuk makan dan minum maka i’tikafnya batal jika ada orang lain yang mengantarkan makanan untuknya. Karena tidak ada kebutuhan untuk keluar. Namun jika tidak ada yang mengantar makanan untuknya boleh untuk keluar mencari makanan.
b.      Keluar untuk sholat jum’at
Orang yan beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk sholat jum’at maka wajib untuk keluar menuju masjid jami’. Karena sholat jum’at wajib untuk dilakukan sehingga tidak membatalkan i’tikafnya.
c.       Keluar untuk menjenguk orang sakit dan menyertai jenazah
Tidak boleh bagi orang yang beri’tikaf untuk menjenguk orang sakit ataupun menyertai jenazah. Karena tidak adanya kebutuhan mendesak. Kecuali memang dari awal dia sudah mempersyaratkan akan keluar untuk menjenguk orang sakit ataupun menyaksikan jenazah, hal ini diperbolehkan. Namun yang lebih utama tidak mempersyaratkan untuk keluar.
3.       Haidh dan Nifas
Termasuk hal yang membatalkan i’tikaf adalah haidh dan nifas. Kapan saja seorang perempuan kedatangan tamu bulanannya atau sedang nifas dan dia berada dalam masjid maka wajib untuk keluar. Karena haram baginya untuk tinggal berdiam diri di dalam masjid. Adapun perempuan yang terkena istihadhoh tidak mengapa untuk tinggal jika mampu menjaga agar darahnya tidak mengotori masjid.

Hal-Hal yang diperbolehkan  dan dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf

Diperbolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk makan, minum di masjid dengan memperhatikan kebersihan masjid dari kotoran makanan/minuman. Dan seyogyanya bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan membaca al-Qur’an, dzikir, berdoa, sholat dan menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya.
Makruh melaksanakan jual beli jika tujuannya hanya sekedar berjualan saja. Namun apabila tujuannya untuk memberi makan anak-anaknya, dan memberi nafkah untuk keluarganya maka tidak masalah.

Referensi : Al-Fiqh al-Muyassar 3/100-108




Related Posts

0 komentar: