Makna I’tikaf
I’tikaf menurut para ulama adalah berdiam diri di masjid untuk mengerjakan
ketaatan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Inilah pengertian i’tikaf secara
umum. Sehingga orang yang berdiam diri di tempat lain seperti di kamar, di wc,
di kelas, atau dimanapun selain di masjid tidak dinyatakan sebagai i’tikaf
dalam istilah syari’at. Sehingga i’tikaf harus dilaksanakan di masjid selaras
dengan ayat di bawah ini;
“Dan
kalian beri’tikaf (berdiam diri) di masjid.” (QS al-Baqarah : 187)
Begitu juga sesuai dengan praktek Nabi shallallahu’alaihi wasallam dimana
beliau hanya beri’tikaf di masjid. Belum ada riwayat yang menyatakan beliau
beri’tikaf di tempat lain.
I’tikaf Bagi Wanita
Para ulama berbeda pendapat mengenai i’tikaf bagi wanita, apakah harus di
masjid seperti laki-laki ataukah boleh beri’tikaf di mushola rumahnya. Dalam
hal ini ada dua pendapat :
1.
Pendapat pertama merupakan pilihan kebanyakan para
ulama yaitu bahwa wanita tetap beri’tikaf di masjid sebagaimana laki-laki.
Sehingga tidak sah i’tikaf wanita di mushola rumahnya.
2.
Pendapat kedua mengatakan bahwa sah i’tikaf wanita
di mushola rumahnya, dan ini merupakan pendapat ulama hanafiyah.
Pendapat yang benar dari dua pendapat ulama di atas adalah pendapat
kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa wanita beri’tikaf di masjid sebagaimana
laki-laki, akan tetapi dengan dua syarat yang harus dipenuhi :
a.
Aman dari fitnah. Yang dimaksud dari fitnah adalah
ia dapat menjaga diri dan terjaga kehormatannya, tidak menggoda lelaki dengan
keberadannya di masjid.
b.
Mendapatkan izin dari suaminya atau wali yang
berkuasa atasnya.
Rukun I’tikaf
Adapun rukun i’tikaf ada empat macam : 1. Orang yang beri’tikaf, 2. Niat,
3. Tempat beri’tikaf, 4. Berdiam diri di masjid. Sedangkan rincian mengenai
empat rukun ini adalah sebagai berikut :
1.
Orang yang beri’tikaf
Yang diperbolehkan untuk beri’tikaf adalah
laki-laki, perempuan, dan anak kecil yang sudah tamyiz yaitu mampu membedakan
yang baik dan buruk. Namun lebih khusus lagi orang tersebut haruslah :
a.
Beragama Islam, maka tidak sah i’tikafnya orang
kafir.
b.
Berakal, mengharuskan i’tikafnya orang gila atau
orang yang mabuk, serta orang yang pingsan tidak sah. Karena pada dasarnya
mereka tidak memiliki niat.
c.
Tamyiz, artinya sudah bisa membedakan dan paham.
Maka tidak sah i’tikaf orang yang belum tamyiz.
d.
Bersih dari haidh dan nifas bagi perempuan.
e.
Suci dari hadats besar, karena orang yang junub
terlarang untuk berdiam diri di masjid.
2.
Niat
I’tikaf tidak sah tanpa ada niat baik itu i’tikaf
sunah ataupun i’tikaf wajib. Sebagaimana wajibnya untuk membedakan antara niat
wajib dan niat sunah berdasarkan sabda nabi shallallahu’alaihiwasallam;
”Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung
dengan niatnya.” (HR Bukhari & Muslim)
3.
Tempat beri’tikaf
Tempat yang digunakan untuk beri’tikaf adalah
masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah. Selain di masjid yang didirikan
jama’ah shalat di dalamnya, maka tidak sah.
Para ulama bersepakat bahwa masjid yang paling
utama digunakan untuk beri’tikaf adalah masjidil haram, kemudian masjid nabawi
dan masjidil aqsha. Selanjutnya adalah masjid yang digunakan untuk shalat jum’at.
Agar orang-orang yang beri’tikaf tidak perlu untuk keluar melaksanakan shalat
jum’at.
4.
Berdiam diri di masjid
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa berdiam
diri di masjid adalah rukun i’tikaf. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai
lamanya waktu berdiam diri di masjid. Ada yang berpendapat satu jam, sehari
semalam, hanya sehari, ada juga yang tidak menentukan batasan waktu akan tetapi
selama itu dinamakan berdiam diri maka sudah terhitung i’tikaf. Namun yang
lebih utama adalah tidak kurang dari sehari.
Pembatal-Pembatal I’tikaf
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan i’tikaf seseorang, di antaranya
adalah sebagai berikut :
1.
Berhubungan badan (Jima’)
Orang yang berhubungan badan dengan istrinya
ketika sedang i’tikaf maka i’tikafnya menjadi batal, baik hubungan di malam
hari dan lebih-lebih lagi di siang hari. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala;
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka
(istri-istrimu, pent) sedangkan kalian sedang beri’tikaf di masjid.” (QS al-Baqarah : 187)
Adapun perbuatan-perbuatan yang mengajak kepada
hubungan badan diperbolehkan selama tidak sampai keluar mani.
2.
Keluar dari masjid
Keluar dari masjid tanpa ada kebutuhan yang
mendesak menyebabkan batalnya i’tikaf. Yang dimaksud dengan kebutuhan di sini
adalah hal-hal yang harus dilakukan seperti kencing, buang air besar, karena
keduanya tidak mungkin dilakukan di masjid. Namun masih ada perincian seputar
keluar dari masjid seperti berikut :
a.
Keluar untuk makan dan minum
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang keluar dari masjid untuk makan
dan minum maka i’tikafnya batal jika ada orang lain yang mengantarkan makanan
untuknya. Karena tidak ada kebutuhan untuk keluar. Namun jika tidak ada yang
mengantar makanan untuknya boleh untuk keluar mencari makanan.
b.
Keluar untuk sholat jum’at
Orang yan beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk sholat jum’at
maka wajib untuk keluar menuju masjid jami’. Karena sholat jum’at wajib untuk
dilakukan sehingga tidak membatalkan i’tikafnya.
c.
Keluar untuk menjenguk orang sakit dan menyertai
jenazah
Tidak boleh bagi orang yang beri’tikaf untuk menjenguk orang sakit ataupun
menyertai jenazah. Karena tidak adanya kebutuhan mendesak. Kecuali memang dari
awal dia sudah mempersyaratkan akan keluar untuk menjenguk orang sakit ataupun
menyaksikan jenazah, hal ini diperbolehkan. Namun yang lebih utama tidak
mempersyaratkan untuk keluar.
3.
Haidh dan Nifas
Termasuk hal yang membatalkan i’tikaf adalah haidh
dan nifas. Kapan saja seorang perempuan kedatangan tamu bulanannya atau sedang
nifas dan dia berada dalam masjid maka wajib untuk keluar. Karena haram baginya
untuk tinggal berdiam diri di dalam masjid. Adapun perempuan yang terkena
istihadhoh tidak mengapa untuk tinggal jika mampu menjaga agar darahnya tidak
mengotori masjid.
Hal-Hal yang diperbolehkan dan dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf
Diperbolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk makan, minum di masjid
dengan memperhatikan kebersihan masjid dari kotoran makanan/minuman. Dan seyogyanya
bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan membaca al-Qur’an,
dzikir, berdoa, sholat dan menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi
dirinya.
Makruh melaksanakan jual beli jika tujuannya hanya sekedar berjualan saja. Namun
apabila tujuannya untuk memberi makan anak-anaknya, dan memberi nafkah untuk
keluarganya maka tidak masalah.
Referensi
: Al-Fiqh al-Muyassar 3/100-108
0 komentar: